Wild Love Episode 51
Wild Love (Episode 51)
Royal Win Indonesia Entertainment – Wild Love Episode 51, di tempat di mana aku pertama kali bersama ibu, kemudian wanita yang selama ini aku kagumi dan aku sukai, Dian Rahmawati. Wanita berambut panjang, hidung mancung dan bekulit putih. Wajah yang ayu dan senyum manisnya, membuat semua mahasiswanya jatuh berlutut di hadapannya.
Apakah aku juga? Ya, namun setiap kali aku merasa dia akan menjadi milikku, setiap kali itu pulalah aku merasakan racun yang tak bisa di tawar oleh hatiku. Di tempat ini, tempat yang indah bagiku, tempat di mana aku bisa memandang rembulan dari bangku tempat aku duduk sekarang. Dengan sekaleng minuman dan tentunya dunhill mild isi 20 menemaniku. Tak ada yang bisa menemaniku saat ini kecuali dunhill. Suasana begitu hening membuat aku merasa nyaman, namun suasana itu berubah menjadi sesuatu yang tak terduga setelah wanita itu datang di royal win indonesia.
“AKU MOHON JANGAN PERGI LAGI! AKU MOHON! Aku tidak ingin berpisah denganmu lagi untuk waktu yang lama, sudah cukup bagiku sekali saja berpisah darimu dan melihatmu menghilang dari kaca jendela bis. AKU MOHOOOOOOOOOOOOOOON ARYAAAAAAAAAAAAAAAAAA hiks hiks hiks hiks hiks hiks”
ucapnya terisak, ucapannya membuatku berhenti melangkah.
“jangan pergi lagi hiks hiks hiks jangaaaan hiks hiks hiks aryaaaa hiks hiks hiks”
isaknya.
“Bis?”
bathinku.
Aku menoleh ke arah wanita yang terduduk dengan kedua kakinya menekuk kebelakang. Wajahnya tertunduk melihat kelantai jalan ini. Kedua tangannya menutupi wajahnya, dapat kulihat air mata mengalir dari sela-sela jarinya dan menetes kebawah. Ingatanku kembali kemasa itu, masa di mana aku.
“Apa ini?, kenapa ada sesuatu yang ingin kembali masuk ke dalam kepalaku? Ada apa?”
bathinku yang tiba-tiba saja sebuah ingatan yang buram yang berasal dari masa lalu ingin masuk ke dalam pikiranku.
“Aku mohon jangan pergi lagi, apa kamu tidak merasa lelah membuatku mencarimu? Hiks hiks hiks hiks… Aku mohon tinggalah, hiks hiks hiks… Apa kau hiks hiks hiks sudah melupakan aku?hiks hiks hiks”
ucap wanita itu, bu dian. Wajahnya berlumurkan air mata yang tertutup dengan kedua tangannya.
“A… apa maksud bu dian? Sungguh A… Aku tidak mengerti sama sekali?”
ucapku, dengan pandangan kebingungan mencoba mengingat kembali.
“APA DARI DIRIKU INI TAK ADA YANG MENGINGATKAN KAMU AR? APA KAMU BENAR-BENAR SUDAH MELUPAKAN AKU? MELUPAKAN YANG PERNAH KAMU KATAKAN KEPADAKU?! Hiks hiks hiks… LIHAT AKU AR… LIHAT AKU hiks hiks hiks… LIHAT AKU ARYAAAAAAA! Hiks hiks hiks hiks”
teriaknya yang masih terduduk dengan kaki bertekuk kebelakang, tangan kananya rebah dan menumpu tubuhnya di depan kedua lututnya sedangkan tangan kirinya diletakannya di dadanya mencoba menunjukan kepadaku agar aku bisa menatapnya dan mengingatnya.
Bajunya lusuh terkena kotoran dan debu
Namun aku hanya terdiam mematung di hadapannya dan menatapnya. Tangan kirinya, telapak tangan kirinya mengusap air mata yang menagalir di pipinya. Telapak tangan itu mengusap air mata di pipi kanannya kesamping kanan kemudian air mata di mata kirinya ke samping kirinya. Tiba-tiba yang aku lihat.
“Eh… siapa dia?”
bathinku.
Tiba-tiba gambaran akan masa lalu muncul di hadapanku. Yang kulihat bukan lagi seorang perempuan dewasa berkulit putih, tapi seorang gadis memakai baju SMA yang hanya menutupi sebagian lengannya dengan posisi yang sama. Bajunya lusuh terkena kotoran dan debu tanah dengan rok abu-abu di atas lutunya. Wajahnya gelap, tak seputih sebelum gambaran ini datang. Rambutnya pendek seperti potongan lelaki, tubuhnya tampak kurus sekali. Kulitnya pun gelap hampir mendekati hitam. Di salah satu kakinya hanya mengenakan kaos kaki putih sedangkan yang satunya lagi masih menggunakan sepatu hitam dengan alas berwarna putih.
“Mbak’e-nya….”
suara seorang bocah muncul.
Tanpa aku sadari bayang-bayang seorang bocah yang tiba-tiba berlari di sampingku membawa sepatu dan tas cangklong bahu (tas yang dipakai menyilang di bahu, sling bag mungkin istilahnya) berwarna hitam. Dia berlari ke arah gadis SMA tersebut, bocah itu memakai seragam SMP. Tampak seragamnya tampak lusuh, bercak-bercak darah tampak di pakaian seragamnya. Tak bisa aku melihat wajah itu, namun sekarang aku ingat.
“Aku… itu aku….”
bathinku, dan bayang-bayang itu kemudian hilang dan berganti dengan perempuan dewasa, bu dian.
“hiks hiks hiks hiks hiks hiks….”
tangisnya.
Wanita ini membuat aku merasa bersalah
Kini tatapanku menjadi tatapan orang yang sangat terkejut. Jantungku berdetak sangat kencang, bibirku sedikit terbuka teringat akan masa lalu itu. Masa dimana aku, aku arya mahesa wicaksono, bertemu dengan seorang gadis SMA dengan senyum manisnya. ingatanku kembali ke masa dimana aku melihat senyum itu, senyum yang telah lama tidak aku lihat dan aku bisa melihatnya kembali ketika pertama kali aku kuliah di semester 5. Ketika kuliah dengan dosen bernama Dian Rahmawati. Gadis itu, adalah Dian Rahmawati. Dosenku adalah gadis dengan senyuman indah yang dulu aku pernah memujinya.Lalu gadis itu sekarang ada di hadapanku.
Gadis yang memiliki senyuman indah.
Gadis yang aku kagumi.
Seseorang dengan wajah kalemnya.
Dan dengan tatapan menentramkan.
Gadis yang pernah tertunduk malu dihadapanku.
Gadis itu, Dosenku.
Dia adalah Dian Rahmawati.
“Mbak’e-nya….”
ucapku pelan.
“Mbak’e-nya…”
ucapku mengulangi dengan nada datar, yang kemudian dia sedikit tersenyum kearahku sambil mengusap air matanya.
Teringat akan semua kesalahan yang pernah aku buat. Teringat akan kegilaan yang pernah aku buat, bersama ibu dan yang lainnya. Tapi Wanita ini mengingatkan aku akan semua kesalahanku.Dan Wanita ini membuat aku merasa malu. Dia membuat aku merasa bersalah. Wanita ini membuat aku merasa menyesal karena telah melakukan kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak aku perbuat. Wanita yang selalu aku idamkan, wanita yang bersih. Merasa aku tidak pantas untuknya. Lututku lemah untuk menopang tubuhku, aku terjatuh dengan posisi lutut terlebih dahulu. Aku sangat-sangat menyesal, kenapa aku harus mengotori diriku? Kenapa aku harus bertemu dengannya dengan keadaan seperti sekarang ini? tubuhku ambruk ke depan dengan kedua tanganku menopang tubuhku. Tangan kananku memukul-mukul tanah.
“Arghhh…….”
teriakku, yang kemudian bangkit dan duduk berlutut di hadapannya, menatapnya kembali.
“Maafkan aku…”
hanya itu yang mampu terucap, malu, membuatku tak sanggup untuk memandangnya. Kualihkan pandanganku ke arah rembulan, saksi bisu pertemuan yang tak terduga ini.
“hiks hiks hiks hiks… kamu ingat aku sekarang Ar?”
ucapnya dengan isak tangis.
“Ya, aku ingat kamu, perempuan yang tak pernah aku tahu namanya…”
ucapku dengan wajah menengadah ke langit atas.
“hiks hiks hiks… Aku yang salah Ar, maafkan aku… aku dipaksa oleh felix, dia yang mendorongku…”
ucapnya pelan.
Ucapannya tak aku hiraukan kembali, aku hanya menyesali semua kejadian yang telah terjadi. Tubuh ini rasanya ingin lari dari tempat ini, tapi hati ini melarangnya, hati ini tak ingin lari karena ada hati yang diinginkan oleh hatiku.
“Aku memang dulu pernah pacaran dengan felix hiks…”
ucapnya dengan suara parau tapi isak tangisnya sudah mereda.
“Seandainya kamu tahu ar, bagaimana aku selalu…..”
ucapnya yang kemudian menceritakan masa lalunya.
Sebuah cerita pencarian dan penantian seorang wanita….
Bocah itu dengan gagah berani menyelamatkan aku, menyelamatkan tubuhku dan mahkotaku. Menyelematkan aku dari ketiga teman yang baru aku kenal dari dunia maya. Aku datang ke daerah ini karena ingin melepas kepenatan dengan membolos sekolah dan seorang dari mereka yang dihajar menawarkan kepadaku untuk menemaniku tapi hal yang tidak disangka terjadi. Namun bocah itu menyelamatkanku. Dia benar-benar seorang laki-laki bagiku. Walau umurnya masih bocah, dan dia beberapa tahun dibawahku. Seorang bocah, entah dia kelas berapa namun yang jelas dia masih SMP sedangkan aku kelas 3 SMA. Dia menghajar tiga orang teman yang baru aku kenal.
Kulitku gelap tapi sebenarnya kulitku putih dan bocah itu juga yang mengetahui pertama kali. kulit luar yang tak tertutup oleh pakaian memang gelap menjurus ke hitam namun yang tertutup pakaian putih. Maklumlah, aku suka sekali bermain panas-panasan diluar dan membuatku menjadi gelap menjurus ke hitam. Aku lebih suka memotong rambutku seperti pria dan sedikit tomboy walaupun terpaksa. Bagaimana bocah itu bisa tahu warna kulitku sebenarnya? Itu karena ketika aku mencincingkan lengan seragamku, tampak belang dan bocah itu langsung nyletuk dengan lugunya.
Terakhir aku melihatnya sedang berlari mengejar bis dimana aku berada. Dia tersenyum dan terus melambai, aku mendengar teriakannya bertanya akan namaku. Aku menjawabnya tapi terlihat gerakan bahunya keatas tidak mendengarku. Sudahlah yang penting aku tahu namanya, jika nanti aku bertemu dengan dia lagi aku pasti akan mengatakannya dan aku yakin dia ingat kepadaku. Setelah perpisahan dengan bocah itu aku terus memperbaiki diriku. Karena dia satu-satunya lelaki yang memujiku dan satu-satunya lelaki yang berani berbicara jujur. Jujur? Jelas, dari kata-kata yang dia sampaikan kepadaku tampak polos dan lugu. Kata-kata bocah itu selalu teringat dikepalaku membuat aku ingin selalu memperbaiki diriku. Aku terus memperbaiki diriku selepas aku lulus SMA, penampilanku semakin menarik banyak laki-laki ketika kuliahku menginjak semester 7. Tapi maaf? Aku tidak tertarik dengan mata-mata itu yang hanya ingin menelanjangiku. Aku kuliah di Universitas Sabarin, dengan tujuan aku bisa bertemu atau menemukan bocah itu. Karena universitas ini berada di daerah dimana aku bertemu dengan bocah itu.
Selepas aku kuliah, aku langsung mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa S2. Dan pencarian satria itu, aku hentikan. Aku kuliah S2 di jerman, disana aku bertemu dengan kakak kelasku. Dulu dia tidak pernah meliriku namun sekarang dia meliriku. Nama panggilannya Felix. Usahanya mendekatiku sangat keras hingga aku jatuh dalam pelukannya dan membuatku seakan lupa akan bocah itu. Entah sekarang dia seperti apa?
Aku menjalani hubungan dengan felix dengan sangat baik, hubungan itu berjalan kurang lebih 1 tahun setelah aku mendarat di jerman. Tapi tak disangka setelah berbulan-bulan aku menjalani dengannya aku memergokinya sedang melakukan hubungan dengan sahabatku sendiri. Aku meminta putus, dan dia mengiyakan dengan beberapa keluhan kepadaku. Aku yang tidak mau disentuh, aku yang jaim dan lain sebagainya. Aku menangis… Apakah untuk mendapatkan laki-laki aku harus menyerahkan semuanya? Tidak, aku tidak akan memberikan kepada lelaki yang belum tentu menjadi suamiku. Setelah aku putus dengan felix, aku menjalani hidup dengan penuh semangat. Dan itulah yang membuat aku kembali teringat kepada bocah satria itu. Kuliah S2 tepat 2 tahun aku selesaikan. Selalu tepat waktu, untuk S1 aku menghabiskan kuliahku selama 3,5 tahun sebagai mahasiswa berprestasi jadi wajar jika aku mendapatkan beasiswa.
Sekembalinya aku ke negara asalku, dan kembali ke universitas sabarin. Aku langsung diangkat menjadi dosen. Dan belum mengajar saja aku sudah mendapat label killer, ya karena ada yang pernah menjadi adik kelasku dan mereka tahu betapa judesnya aku. Berita itu terus menyebar hingga ke adik-adik kelas yang baru saja masuk. Ketika itu pertama kalinya aku mengajar, aku melihat sesosok laki-laki yang mengingatkan aku pada bocah itu. Setelah salam dari mahasiswa, aku kemudian memperkenalkan diriku. Aku memang penasaran dengan laki-laki itu, hingga aku meraih daftar hadir mahasiswa dan aku cek satu-satu kehadirannya. Kubaca namanya dan aku langsung melihat mahasiswa tanpa melihat nama dibawahnya. Satu persatu aku baca hingga di nomor presensi 32.
“Eh… Arya…” bathinku.
“Arya Mahesa Wocaksono!” ucapku dengan nada keras.
“Hadir bu” ucap seorang laki-laki yang duduk didepan. Sambil tersenyum kepadaku, tapi aku hanya kembali membaca nama mahasiswa berikutnya. Tak kubalas senyuman itu, senyuman yang dulu pernah menyelamatkan aku.
Sekalipun aku tak membalasnya, namun hati ini seakan berteriak sangat bahagia. Sangat-sangat bahagia, sebenarnya aku ingin membalasnya. Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan kepadanya tentang kejadian 6 tahun yang lalu. Tapi apakah dia akan mengingatku? Ditengah-tengah kuliah ketika semua mengerjakan tugas, aku terus memandangnya berharap dia memandangku kembali. Dan benar dia memandangku, aku tersenyum kepadanya dan dia membalasnya, iiiiih seneng sekali rasanya. Arya… aryaa… dia pasti mengingatku. Pasti ingat hi hi hi senaaaaaaaaang sekali rasanya. Tapi ternyata dia tidak ingat, dia lupa. Bahkan ketika kuliah selesai pun dia tidak menemuiku atau apalah sekalipun aku sempat melemparkan senyum kepadanya ketika perkuliahan selesai. Apa memang dia telah melupakan aku?
Setelah pertemuan pertama dengannya, aku semakin bersemangat mengajar. Aku akan berusaha untuk mencoba membuatnya ingat kepadaku sekalipun dia sudah melupakanku. Dialah satriaku, semaksimal mungkin aku akan berusaha membuatnya ingat. Pernah waktu itu aku bertemu dengannya di toko pakaian, dia tampak sangat lucu ketika mengetahui kalau aku, dosennya, yang sedang mengajak bicara dari belakang. Walau di awal tampak agak kaku, begitupula aku, aku mencoba lebih lembut lagi. Aku akhirnya bisa membawanya menemaniku berbelanja. Aku mencoba mengorek tentang dirinya agar aku yakin bahwa dia adalah bocah itu. Dan benar dia adalah bocah yang menyelamatkan aku waktu itu. Tapi jawaban yang aku harapkan tidak seperti seharusnya. Dia tidak mengetahui siapa gadis itu, wajar itu semua salahku karena aku saat itu tidak sempat memperkenalkan diriku. Tapi dengan cerita dia membuat aku semakin ingin sekali bersamanya, bersama satria penolongku.
“Arya ganteeeeng….” begitu teriakku di dalam mobil setelah berpisah dengannya, betapa bahagianya hatiku.
Sesampainya aku dirumah, aku mencari tahu keberadaanya. Pertama dari Fish Boat (FB), kucoba mencari namanya tapi tak ketemu. Aku sedikit menyerah tapi tiba-tiba ada ide muncul dikepalaku. Aku melakukan pencarian arya dari teman-teman kuliahnya. Semua nama mahasiswa di kelasnya aku ‘search’, dan dari semua temannya hanya satu yang menggunakan nama asli. Ku lihat teman-teman dari mahasiswa itu dan kucek satu-satu. Ada lebih dari 2000 teman aku cek hingga ke seorang teman dengan nama Zi K0PL4k A12J4 MW, dengan Profil picture sebuah tulisan KOPLAK. Kubuka album.
“DASAR NYEBELIIIIIIIIIIIN!” teriakku sambil menunjuk-nunjuk wajah seorang lelaki di layar monitor.
Kutatap senyuman itu, tak henti-hentinya aku memandang wajah itu. Kadang aku menunduk dan malu sendiri ketika harus menatap mata itu. Hampir semalaman kerjaku hanya membuka foto-foto si bocah itu, dari foto pertama hingga terakhir dan kuulangi hingga aku tertidur. Arya.
Ini adalah kedua kalinya aku masuk ke kelas arya kembali, seperti halnya dosen yang lain. Setiap tugas harus dikumpulkan, namun tiba-tiba saja bocah itu mendatangiku dan mengatakan kepadaku kalau tugasnya tertinggal di rumah. Aku sebenarnya tidak tega tapi mau tidak mau aku menyuruhnya keluar. Setelah dia keluar konsentrasiku menjadi pecah, hatiku gundah, tak ada semangat untuk mengajar dikelas ketika seorang lelaki yang aku idamkan tidak berada didepanku. Selepasnya perkuliahan selesai bocah itu mengejarku, aku sangat senang sekali. Walau balasan yang dia dapat adalah kejudesanku dan rasa angkuhku, bagaimana tidak aku tidak ingin dibilang dosen pilih kasih atau dosen yang tidak adil. Hingga dia menawarkan untuk mengumpulkan tugas ke rumah. Senang? Pastilah! Hi hi hi hi hi hi, tapi aku sedikit jual mahal agar tidak dikira dosen gampangan.
“Maaf saya sibuk jika harus menunggu tugas kamu sampai nanti sore” ucapku sambil berlalu, dia tidak menyerah dan terus mengejarku.
“Bu, akan saya kumpulkan ke rumah Ibu, saya mohon bu…” ucapnya sambil membungkukan tubuhnya dihadapannku, Aku hanya berlalu, dia terus mengejarnya dan mengejarnya, hingga.
“Oke saya tunggu nanti malam jam 7 malam, ingat jam 7 malam, lebih 1 detik saya tidak akan menerima tugasmu dan nilai kamu E” ucapku dengan nada judes.
“Maaf sebelumnya bu, Boleh saya meminta nomor HP Ibu, jika nanti saya kesasar Bu?” ucapnya.
“Kamu lihat alamat saya di data jurusan, memangnya kamu tidak punya mata?” kata-kata pedas sepedas cabai setan menghujam mukanya.
“Iya bu, maaf, jika Ibu tidak keberatan memberikan nomor HP Ibu langsung” ucapnya dengan wajah takut dan menunduk kebawah.
“Dasar mahasiswa tidak tahu etika” kata-kata pedas keluar kembali dari mulutku, walau akhirnya aku memberikan nomor HP-ku.
Malam menjelang aku terus menantinya. Waktu berjalan sangat lama. Aku benar-benar merasakan cemas, apakah dia akan datang atau tidak? Akhirnya dia datang walau sempat kesasar juga. Aku sengaja memakai pakaian seksi dihadapanya, apakah dia masih sama dengan ketika dia menjadi bocah? Dan ya, dia menunduk dihadapanku karena pakaianku. Aku sebenarnya tersinggung namun bahagia, bahagia karena dia masih sama seperti dulu dan bahagia aku mendapatkan kaosnya. Kebahagiaan demi kebahagiaan aku dapatkan hingga akhirnya aku benar-benar dekat dengannya.
Sosok seorang satria aku dapati darinya ketika itu, dia menyelamatkanku kembali dari tangan Lucas. Entah siapa lucas, padahal dia selalu mengejek kejelekanku di awal kuliah. Dia selalu mendekatiku tapi tak ku gubris. Dasar cowok tak tahu diri, sukurin! Akhirnya arya menjatuhkannya. Cup… aku memberanikan diriku mengecup pipinya setelah kejadian dengan lucas, dia tampak kikuk, grogi, lucu banget deh pokoknya hi hi hi.
Semua berjalan dengan normal, hingga felix datang kembali ke kehidupanku. Menawarkan kepadaku keseriusannya. Aku bingung, arya dan felix, hingga akhirnya aku mendekat ke felix karena dorongan erna dan teman dosenku. Aku lupakan arya, entah kenapa aku bisa melupakannya. Kejadian ketika felix melamarku dihadapannya, senyuman itu membuat aku terluka. Mungkin luka yang aku rasakan tidak sebanding dengan luka yang dia rasakan. Akhirnya dia menjauh, hatiku menangis setiap kali melihatnya. Dan aku lebih terluka lagi ketika orang yang aku campakan adalah penolongku untuk ketiga kalinya. Hingga aku mengetahui arya memilik pacar, dan itu juga membuatku sangat terluka. Mungkin ini ganjaran dari perbuatanku. Aku mencoba mendekatinya kembali mendesak ketua jurusanku untuk menempatkan aku sebagai dosen pembimbing lapangan untuk PKL arya. Selama arya PKL aku putuskan hubunganku dengan felix. Dia tidak menerima keputusan sepihakku ini tapi aku tetap bersikeukeuh untuk putus dengannya. Dia terus mengejarku tak henti-hentnya dia mengejarku dan aku tidak menghiraukannya. Pernah saat itu aku datang ke warung teman arya dan bertemu arya yang datang bersama seorang wanita. Jengkel, marah tapi aku tidak bisa itu hak dia karena aku telah mencampakannya.
Hingga suatu malam di tempat dimana dia pertama kali mengajakku ketempat yang romantis. Tempat dimana dia aku acuhkan. Disitu sebuah kenyataan aku peroleh, pacarnya adalah ibunya yang berpura-pura. Dan kenyataan itu aku peroleh dari ibunya langsung yang datang ke tempat itu. Setelah pertemuan itu hubunganku membaik, aku merasa aku sudah dekat dengannya. Dan aku sudah menentukan waktu untuk mengatakan kepadanya tentang masa itu. Masa dimana aku bertemu dengannya pertama kali. tapi felix mengubah semuanya, dia yang terus menerus memaksaku agar kembali padanya membuat aku semakin jengkel hingga. Di ruang jurusan, hari dimana Arya akan mengajukan bimbingan felix datang. Kata-katanya membuat aku kesal, ketika aku hendak beranjak pergi dari ruangan dia menarikku dan mendorongku. Didaratkannya bibirnya di bibirku dan disaat itu Arya membuka pintu.
“Kenapa?”
hanya itu yang terucap dari mulutku, dengan posisi duduk bersimpuh, kedua tanganku menumpu tubuhku bagian depan. Cerita sekilas cerita yang sama sekali tidak aku hiraukan.
“hiks hiks hiks maafkan aku ar… felix yang memaksaku, bukan maksudku untuk menyakitimu”
ucap bu dian.
“Kenapa? kenapa baru sekarang aku menemukanmu?”
ucapku pelan.
“Eh… Ar… hiks hiks hiks”
ucapnya dengan isak tangis.
“KENAPA AKU HARUS TAHU KALAU GADIS ITU ADALAH KAMU! KENAPA BARU SEKARANG?! ARGHHHHHHHHHHH…! hash hash hash”
teriakku, membuat bu dian terdiam dan terkejut.
“ssssshhhhhh huuuufffffffffffffffffff”
hela nafasku.
“seandainya kamu datang lebih awal, dan mengatakannya lebih awal mungkin aku tidak akan sekotor seperti sekarang ini”
ucapku.
“Aku tidak pantas untukmu…”
lanjutku, yang kemudian berdiri melangkah kearahnya, dengan mengambil kaleng minuman yang masih tergeletak di bangku taman.
“Ar… maafkan aku hiks hiks hiks aku mohon jangan pergi lagi ar hiks hiks hiks”
ucapnya kembali, aku kemudian duduk disampingnya dengap posisi berlawanan. Kakiku aku tekuk.
“aku tidak pantas untukmu”
ucapku sekali lagi.
“Kenpa hiks hiks hiks apakah karena kejadian aku dengan felix ar”
ucapnya yang mengarahkan padangannya kesamping, ke arahku. Aku masih memandang jauh kedepan (kearah belakang bu dian).
“semenjak kejadian itu, aku terus menantimu di halte bis tempat kita berpisah setiap kali aku pulang sekolah hingga aku lulus SMP. Berharap aku bisa bertemu denganmu. Namun yang aku tunggu tak kunjung tiba. Ketika SMA aku mulai mencarimu walau sebenarnya aku tahu itu mustahil karena aku tahu kamu bukan dari daerah sini tapi aku pernah melihatmu di universitas di jurusan yang sekarang aku menuntut ilmu tapi kamu menghilang karena ketika itu hujan deras sekali. Aku mencoba mendekati tapi kamu sudah tidak ada ditempat itu. Sssshhhh huuuuuuuuuuuftthhhh…”
ucapku.
“kau juga mencariku ar….”
ucapnya.
“Setiap pulang sekolah aku selalu ke universitas berharap bisa menemukanmu. Itulah mengapa aku masuk ke jurusan yang sekarang ini, berharap bisa bertemu denganmu tapi tidak ku temukan. Tak ada yang pernah tahu pencarianku, bahkan orang terdekatku tak ada yang pernah tahu tentang pencarianku. Hingga kamu datang dengan penampilan yang sangat berbeda, sebagai dosen dan aku mahasiswanya. Pertama kali aku melihatmu, aku merasakan hal yang aneh. Seakan-akan aku pernah melihatmu tapi aku menepisnya karena kamu yang dulu sangat berbeda dengan kamu yang sekarang”
lanjutku.
“Maafkan aku tidak mengatakannya sejak awal, tapi hiks hiks apakah kamu mau memaafkan aku ar”
ucapku, aku terdiam sejenak.
“Ar…”
ucapnya dengan masih memandangku tapi aku tidak memandangnya.
“Kamu mengharapkan aku? Kamu inginkan aku?”
ucapku yang menoleh kearahnya, dia hanya mengangguk dengan sedikit senyum penuh harap.
“aku tidak pantas untukmu”
ucapku yang kemudian menoleh kearah depanku.
“Apa maksudmu?! Apakah karena aku telah melakukan hal bodoh dihadapanmu ar?”
ucapnya pelan dengan wajah tertunduk.
“Aku terlalu kotor untukmu…”
ucapku pelan dengan wajah tertunduk dan kedua tanganku berada di kedua lututku.
“Apakah hanya karena aku tidak mengatakan sejak awal kamu menilai diriku sekotor itu ar? Apakah aku yang dipaksa felix membuatmu menilaiku sekotor itu ar? Aku terus mencarimu tapi kenapa ketika aku menemukanmu… kamu ingin pergi lagi? Apakah karena aku yang terus menyakitimu?”
ucapnya, tak ada jawaban dariku.
“Aku…”
ucapku.
“Aku apa ar?”
ucapnya.
“aku apa?”
lanjutnya mendesakku.
“Mbak’e-nya… aku terlalu kotor untukmu mbak…”
ucapku pelan.
“aku tidak mengerti maksudmu ar hiks jika memang kamu tidak meng…”
ucapnya terpotong olehku.
“Aku telah…”
ucapku memotong ucapannya.