Wild Love Episode 45
Mengingat kejadian semalam
Royal Win Indonesia Entertainment – Wild Love Episode 45, bener-bener memang ini dosen, kalau saja semalam ibu ndak dateng. Pasti dia ndak bakal sok akrab sama aku, dan aku bakal lebih enjoy lagi hari ini. enjoy dengan ibu, kentang banget hari ini. hufttt…. tiba-tiba.
“Ibu apaan sih, kembalikan bu”
ucapku meminta sematponku yang di rebut ibu.
“Anak baik diam!”
ucap ibu, seakan dihipnotis aku diam.
“ihirrrr… akrab sama dosennya ya”
ucap Ibu.
“Akrab apaan bu? Judes kaya gitu di akrabin”
ucapku sinis.
“Ya sudah, jangan ngambek gitu, kalau ngambek gitu tandanya kamu itu sayang, cinta sama dian”
ucap Ibu.
“ah ibu, bikin bete saja”
ucapku sambil bangkit mencoba meraih kembali sematponku.
“eit ndak bisa-ndak bisa ha ha ha”
ucap ibu sambil berlari menjauhiku.
Aku berlari mengejar ibu di dapur, layaknya adik dan kakak kami main kejar-kejaran. Senyum mengembang, tawa meledak diantara kami. seakan-akan tak pernah ada kejadian buruk terjadi diantara kami. aku melihatnya seperti halnya seorang anak melihat seorang ibu. Hingga aku bisa memeluk ibu dan meraih kembali sematponku. Ibu kemudian membetet hidungku dengan gemas, aku hanya menjulurkan lidahku ke arah ibu. setelah lelah bermain kejar-kejaran di dalam rumah, aku dan ibu beristirahat di ruang TV kembali. Kebahagiaan terpancar di wajah kami berdua. Kepalaku rebah di paha Ibu dan ibu membersihkan telingaku.
“iiih jorok banget, masa ada tempat pembuangan sampah di telinga?”
ucap Ibu.
“Yeee… itu bukan tempat pembuangan sampah bu, tapi rest area buat kotoran”
ucapku.
“emang mau mudik, pakai rest area segala hi hi hi”
ucapnya.
“paling bu, kotorannya lagi mudik ke telingaku nanti kalau arus balik paling hilang sendiri he he he”
balasku.
“kamu itu jorok”
ucap Ibu.
“makanya bu dibersihin doooong”
balasku, tiba-tiba.
“aw… Ibu apaan sih?”
protesku yang tiba-tiba tangan ibu meremas dedek arya.
“Lho kok tidur, padahal ibu sudah nempel-nempelin susu ibu dikepalamu lho”
ucap ibu menggodaku.
“jangan-jangan kamu… sudah ndak suka perempuan???”
lanjutnya.
“ndak tahu bu, seneng saja hari ini bisa bercanda dan tidak melulu membicarakan masalah berbau ex ex ex”
ucapku.
“Berarti kita mendekati kehidupan normal lagi sayang ehemmm…”
ucap ibu santai.
“mungkin bu, tapi bu…”
ucapku.
“We will back to normal, dear”
ucap Ibuku, aku hanya tersenyum dengan pandangan ke arah TV.
“After he’s gone”
ucapku.
“Yupz that’s right”
ucap Ibu.
Kami bercanda seperti biasanya, tak ada dalam pikiranku untuk menghunuskan dedek arya ke dalam tubuh ibu. Entah kenapa kali ini tampak berbeda, apakah karena pertemuan semalam dengan bu dian? Padahal jika aku memutar balikan waktu, seminggu yang lalu kami melakukannya dengan sangat ganas di dekat ayah. Namun kali ini aku merasakan hal yang berbeda.
Mungkin memang adanya bu dian merubah segalanya. Aku pun terlelap dalam pangkuan ibuku hingga siang hari. Tepat pukul 13:00 aku bangun dan tak kudapati ibu di sofa. Aku kemudian bangkit dan kembali ke kamar, kulihat ibu sedang membersihkan pekarangan rumah. Selepasnya aku berganti pakaian, ingin rasanya keluar main. Aku turun dan menghampiri ibu di pekarangan belakang rumah.
“Aku mau main ke wongso bu”
ucapku sambil mencium pipinya.
“Iya hati-hati”
ucap Ibu.
“Ingat, ndak usah main-main lagi sama cewek lho, kasihan tuh yang didalem bisa pingsan tujuh turunan”
ucap Ibu.
“yee ibu bisa saja, aku berangkat dulu bu”
ucapku.
“Iya sayang, hati-hati pelan-pelan saja bawa motornya”
ucap ibu.
“oke ibu”
ucapku.
Menghirup udara panas
Dengan REVIA aku kembali ke jalanan daerahku. Kuhirup udara panas di daerahku yang bercampur dengan karbon dioksida dan karbon monoksida serta sedikit oksigen. Sudah jelaskan kenapa sekarang udara menjadi kotor? Banyak pohon yang ditebangi, industri dimana-mana menggusur zona hijau. Ditambah lagi makin banyaknya motor dan mobil yang berlalu lalang, memang sih ndak bisa disalahkan karena kita semua butuh transportasi yang memadai. Lama aku mengendarai motor, hingga akhirnya aku sampai di dekat warung wongso. Kulhat mobil yang tidak asing lagi bagiku, tapi sayang ingatanku buruk. Kuparkir motorku di depan warung wongso dan masuk ke dalam tanpa menoleh ke kanan dan kekiri.
“Kulonuwun (permisi)”
teriakku dan semua pelanggan menoleh ke arahku.
“O… lha wong edan (orang gila) pelan kenapa? memangnya di goa, teriak-teriak”
ucap wongso.
“Ya menawane (mungkin saja) kamu budeg wong”
ucapku.
“Lihat telingaku masih normal”
ucap wongso sambil memperlihatkan telinganya.
“Iya itu, dasar orang katrok!”
ucap seorang wanita di belakangku, aku menoleh ke arah belakang.
“Huh, mau katrok atau ndak, bukan urusan situ kali”
ucapku, wongso hanya bengong melihat perdebatan kami.
“Ya memang bukan urusan aku, tapi mbok yaho tahu sopan santun kenapa, dasar preman takut setan”
ucap Bu Dian, aku tak menggubris kata-kata dari si judes ini.
“Bu’e (ibu)… lama tak jumpa bu”
ucapku sambil menghampiri ibunya wongso, segera aku mencium tangan ibunya wongso. Disitu juga ada asmi yang sedang membantu ibunya wongso berjualan.
“Lho As, ndak kuliah?”
ucapku.
“Kan habis PKL Ar, kamu sendiri?”
ucap asmi.
“sama saja, habis PKL, seneng deh PKL sudah selesai, nilai sudah keluar dan juga ndak perlu ketemu DE-PE-EL ku lagi, seneng bangeeeeeeeeeet rasanya ndak ketemu DE-PE-EL ku lagi As”
ucapku dengan suara menekan pada kata DPL.
“Lho ar, DPL kamu itu kan… kan… kan….”
ucap wongso yang aku lihat menggerakan bola matanya ke arah bu dian.
“ada apa kamu wong? DE-PE-EL-ku itu kan dah ndak ada urusan sama aku lagi”
ucapku.
“Enak saja, aku bisa rubah nilai kamu sekarang juga! Huh!”
ucap bu dian yang sekarang tampak lebih judes, tanpa menghiraukannya aku langsung ambil makanan.
“makan dulu ahhhhh…”
ucapku santai. Wongso, asmi dan ibunya wongso tampak terheran-heran melihat sikap kami berdua.
“Aku makan di teras rumah kamu saja wong, takut makan disini, ada yang ngegigit nanti”
ucapku langsung ngeloyor ke belakang warung. Belakang warung wongso adalah rumahnya.
“Arya!”
teriak bu dian membuat seisi warung bengong, tapi aku tidak menggubrisnya sama sekali.
Aku kini duduk di teras rumah wongso. Wongso kemudian menyusulku begitupula asmi, diikuti bu dian dengan wajah judes dan wajah jengkelnya. Wongso kemudian duduk di sebelahku, Asmi duduk bersebelahan di hadapanku dan wongso.
“Ngomong apa kamu tadi hm!”
ucap bu dian yang berdiri di kananku sambil memegang tangan kananku.
“bu ini aku lagi makan bu, ndak boleh diganggu”
ucapku yang tadinya mulutku sudah siap melahap makanan disendok yang aku angkat.
“tadi kamu bilang apa? Siapa yang ngegigit kamu?!”
ucap bu dian.
“lha ibu merasa mau menggigit tidak?”
ucapku santai.
“Tidak!”
ucapnya.
“Ya sudah ibu tenang, duduk, dan nikmati hidangan di warung ibunya wongso, bereskan”
ucapku dengan suara datar dan diplomatis.
“Awwwww…..”
teriakku, kaget karena tiba-tiba tanganku digigit bu dian dan semua makanan di sendokku tumpah.
“Rasain!”
ucapnya judes yang kemudian duduk di sebelah asmi.
“Sebentar, sebentar ada apa dengan bu dian dan kamu ar? Kok sekarang tampak berbeda?”
ucap wongso.
“He’em kok akrab banget sekarang?”
ucap asmi.
“Akrab sama dosenku ini, ndak lah, kasihan dosennya, mahasiswanya kan bukan levelnya dosen”
ucapku sambil makan.
“Orang seperti arya jangan di akrab-i, bisa-bisa makanan sewarung habis nanti wong”
ucap Bu dian yang tampak mulai bisa membaur dengan wongso dan asmi.
“Ada apa to bu?”
ucap asmi.
“Tanya saja sama mahasiswa yang suka bohongin cewek”
ucap bu dian.
“Eh, bu kok aku pembohong?”
ucapku, pandangan wongso dan asmi ke arahku.
“Iyalah, nyatanya, yang kamu akui sebagai pacar bukan pacar kamu kan?”
ucapnya, pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian.
“Yeee… kapan saya mengakui kalau saya punya pacar, coba diingat-ingat lagi, kapan saya melakukan klaim kalau aku punya pacar?”
ucapku pandangan wongso dan asmi ke arahku.
“Eh… ya pokoknya kamu bohong sama aku”
ucap bu dian dengan wajah cemberutnya namun tetap cantik, dan pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian.
“Dosen sukanya kok ngeles, kasihan mahasiswanya kalau begitu itu, ndak valid”
ucapku, kini pandangan wongso dan asmi kembali ke arahku.
“Emang penelitian, pakai valid segala”
ucapnya, kembali lagi pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian.
“ya kan mahasiswa butuh pembelajaran yang valid, kalau yang disampaikan dosen ndak valid bagaimana nasib mereka di dunia kerja”
ucapku, lagi pandangan wongso dan asmi ke arahku.
“Dasar Mahasiswa ndak tahu terima kasih”
ucap bu dian, dan lagi pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian.
“Sudah-sudah tenang, bisa kita bicarakan pelan-pelan kan?”
ucap wongso.
“Bu dian, biarkan arya makan dulu”
lanjut wongso.
“Ar, jangan diteruskan lagi ndak baik makan sambil berbicara”
ucap asmi.