Wild Love Episode 31
Kacamata yang menghiasi wajah manis
Dengan cepat aku raih punggungnya dengan tangan kananku, buah tangan dan sematpon sementara aku tidur di lantai alias jatuh. Wajah nan Ayu rambut panjang terurai dengan kaca mata menghiasi wajah manisnya. Segera aku bangkitkan tubuhnya.
“Maaf… maaf mbak… maaf….”
ucapku sambil membungkuk-bungkuk di hadapannya.
“Masnya itu kalau jalan hati-hati kenapa?”
ucap wanita tersebut. Aku hanya tersenyum memandangnya dengan senyum cengengesanku.
“Ndak ada yang kurang kan mbak?”
ucapku.
“Kalau kurang memangnya mau ganti rugi?”
ucap wanita tersebut.
“Ya ndak juga mbak, saya minta maaf sebesar-besarnya jika pakaian mbak kotor atau apa saya siap menanggung resikonya”
ucapku dengan tersenyum dengan sedikit cengengesan.
“Okay, ganti rugi makan siang , bagaimana?”
ucap mbaknya. Kulihat sepintas pakaiannya, jas lab putih dengan celana kain hitam panjang dihiasi sepatu hitam berhak tidak terlalu tinggi.
“Masa, saya yang orang biasa seperti ini harus ganti rugi makan siang mbak, yang ada mbak dokter yang traktir saya”
ucapku.
“sudah mas tenag saja. mas-nya itu tadi yang bikin gara-gara di pintu masuk parkir ya?”
ucap mbaknya dokter, yang kemudian membuat suasana semakin akrab.
“gara-gara ditempat parkir? Bukan mbak, mbaknya salah lihat mungkin”
ucapku, mau garuk-garuk kepala juga susah masih ada perbannya.
“Lha tadi bikin antrian panjang, ya kan? yang ndak mencet tombol hij…”
ucap mbaknya dokter terpotong. Langsung saja aku mendekat dan menyilangkan jariku di bibirnya, entah keberanian dari mana tapi itu hanya sekedar reflek.
“Sssssttt… jangan keras-keras mbak ntar saya bisa jadi komedian disini”
ucapku.
“ini tangan ngapain sich nyampe sini”
ucapnya.
“eh… maaf maaf reflek mbak, mbaknya dokter sich keras-keras”
ucapku.
“mbaknya dokter-mbaknya dokter, apa ndak bisa baca name text-ku? AS-MA-RA ME-DI-TA”
ucapnya.
“iya mbak asmara, maaf kalau saya lancang, maaf maaf”
ucapku.
“Panggil saja aku Ara, kamu mau kemana?”
ucap Ara.
“Mau ke ruang lavender nomor 69 mbak, mbak dokterkan disini? Pasti tahu dong”
ucapnya.
“Iya masih di lantai atas, kenapa kamu ndak naik lift saja dari bawah kan malah cepet”
ucap mbak Asra.
“Dikerjai sama mbaknya yang dibawah owk, jadi ya jalan kaki saja mbak biar sehat”
ucapku.
“Pantes!”
ucapnya.
“Pantes kenapa mbak?”
ucapku.
“Pantes kalau kamu itu ndeso, ada lift kok ndak dipake, ada tombol kok ya ndak dipencet”
ucap mbak Ara.
“Sudah dech mbak jangan di ingatkan lagi, saya jadi malu, lagian mbak Ara kok tahu kalau saya tadi bikin huru-hara di tempat parkir?”
ucapku.
“Aku tadi yang membonceng bapaknya, yang neriaki kamu… eh ngomong-ngomong siapa nama kamu?”
ucap mbaknya.
“Arya mbak”
ucapku sembari menyodorkan tanganku dan disambut olehnya.
“ya sudah mbak kalau begitu, sebelumnya saya minta maaf, saya mau melanjutkan perjalanan dulu. tapi mbaknya ndak bohongkan kalau levender diruang atas?”
ucapku.
“kalau bohong cari aku, nanti aku akan traktir makan siang sepuasnya”
ucapnya.
“eh.. gimana cara nyari mbak?”
ucapku lugu.
“ni kartu namaku”
ucapnya sembari menyodorkan kartu namanya, kenapa hari ini aku dapat kenalan cewek? Double lagi? Bodoh ah!
“wah kalau berobat sama mbak gratis ya”
ucapku.
“iya dech, di awal ya tapi nanti kebelakangnya bayar dobel”
ucapnya dengan senyum mengejekku.
“sama aja mbak, mending aku berobat ke dokter lain”
ucapku.
“kamu lucu juga, itu kenapa kepala pakai perban?”
tanya mbak Ara.
“Biasa mbak, cowok, ber… an… tem”
ucapku semakin pelan dan mengeja karena mabak ara tiba-tiba dia mendekat dan membenarkan perban di atas kepalaku. Aroma wangi parfum semerbak masuk kehidungku.
“Besok lagi ndak usah berkelahi lagi Ar”
ucapnya.
“Eh… iya mbak, terima kasih”
ucapku.
“Ya sudah, cepat sana ke lavender, kasihan yang nungguin kamu entar”
ucapnya.
“Oke, mbak, duluan ya mbak”
ucapku, segera aku melangkah kembali menuju tangga padahal dan kemudian menaikinya, memang lebih enak menaiki tubuh wanita ketimbang menaiki tangga eh… kenapa aku punya pikiran kotor? He he he… sampailah aku pada ruang lavender no 69.
“bener-bener gila ini yang buat rumah sakit, luas banget, bikin pegel saja”
bathinku berkeluh kesah. Kubuka kartu nama mbak ara, dan aku kemudian sms mbak ara.
To : Ara
Mbak, terima kasih, mbaknya dokter bener
From : Ara
Oia, besok-besok lagi kalau sudah dikasih tahu sama yang lebih tahu
Naik lift, sudah dibilangin lantai atas masih saja naik tangga, ndeso!
To : Ara
Iya iya, aku Ndeso….
From : Ara
Marah nih ya?
To : Ara
Ndak juga, kalau marah sama mbak bisa di tikam sama pacar mbak
From : Ara
Paling pacarku ndak berani sama kamu ar
Dia ndak jago berkelahi kaya kamu yang doyan berkelahi
To : Ara
KDL he hehe
From : Ara
Apaan tuh?
To : Ara
Kasihan Dech Loe ha ha ha
Gimana nanti kalau ada preman yang ngegodain mbak coba?
Masa pacar mbak diem aja?
From : Ara
Awas kamu kalau ketemu lagi!
To : Ara
Tenang saja mbak, mbak ndak bakal ketemu sama aku lagi kok
From : Ara
Oh ya?!
AWAS KAMU POKOKNYA!
To : Ara
Serem he he he
Met aktifitas mbak
From : Ara
Okay, sama-sama Ar
Setelah bersms ria dengan mbak ara, segera aku membuka pintu kamar itu, tak ada seorang pun disitu kecuali pak felix yang berbaring dan sedang asyik main game di sematponya.
“Pak Felix…”
ucapku.
“Oh… Hai Ar, apa kabar? Bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja?”
ucap pak felix.
“seharusnya yang tanya begitu kan saya pak, kan saya yang jenguk bapak”
ucapku, sambil meletakan buah tangan dari Ibu.
“Oh iya, ya beginilah Ar, ada beberapa tulangku yang patah sewaktu di injak-injak kemarin, kamu bagaimana? Makasih buat buah tanganya”
ucap pak felix.
“Sudah biasa pak, tenang saja. Iya pak sama-sama”
ucap pak felix, tak kulihat Bu Dian disana, tampak sepi namun aku enggan menanyakan keberadaanya.
Aku kemudian duduk di kursi di sebelah kiri pak felix, membelakangi pintu masuk. Lama kami bercakap mengenai kejadian semalam dan juga perkuliahan di semester depan. Canda dan gurau menghiasi pembicaraan kami berdua.
Bugh… pukulah ringan dibahuku
“Ngapain kamu disini Ar?”
ucap seorang laki-laki di belakangku, aku menoleh.
“Lho, Om Heri? Bukanya om heri ada di luar kota?”
ucapku kepada Om heri, adik tante asih.
“Aku pindah dinas”
ucap om heri.
“Kata tante asih, di luar kota”
ucapku.
“Ya Tantemu itu belum tahu, Seharusnya bulan depan aku pindahnya tapi karena sudah kangen rumah, om mendesak pihak kedinasan untuk mempercepat kepindahanku, jadi tante asih kaget tadi waktu om her disini”
ucap om heri.
“Bagaimana keadaanmu Lix?”
ucap Om Her ke pak felix.
“Ya beginilah mas, kalau tidak ada Arya sama teman-temannya mungkin sudah lebih parah lagi mas”
ucap pak felix.
“Arya ini hadeeeeeh… kakak kelasnya saja sampe nangis-nangis dikerjai sama dia, nakal memang anak ini”
ucap Om Heri.
“Lho kalian sudah saling kenal!”
ucapku.
“Felix itu adik kelas SMA om heri, jadi ya kenal. Dan jangan berkelahi lagi!”
ucap om her sedikit membentak, aku hanya tersenyum cengengesan di hadapannya.
“Sudah mas, ndak papa, ponakanmu ini orang hebat mas”
bela pak felix.
“tuh denger kata pak felix om”
ucapku dengan sedikit sombong.
Kami kemudian melanjutkan percakapan kami. Om her menceritakan mengenai rumah sakit luar kota dan betapa kangennya dirinya dengan rumah. Akhirnya dia pindah dinas agar bisa lebih dekat dengan Ayah Ibunya atau adik dari kakekku. Lama kami mengobrol akhirnya waktu menunjukan pukul 11:30. Aku kemudian keluar sebentar untuk menyulut rokok.
“Di atap gedung saja Ar, di sana smoking areanya”
ucap Om Her, aku hanya mengangguk mengiyakan, aku keluar menuju tangga ke atap gedung.
Baru beberapa langkah menuju tangga tersebut muncul wanita yang sudah tidak asing lagi dengannya, Tante Asih dan juga Dosen judes, Bu Dian yang membawa air mineral. Walau di awal perkuliahanku dia tampak judes, setelah banyak yang dilalui dan melibatkan aku dan dia pandangannya menjadi pandangan yang teduh kepadaku. Bodoh Ah!
“Tan… te…”
ucapku ketika berhadapan dengan mereka berdua.
“APA!”
bentaknya.
“ndak papa tante…”
ucapku lirih.
“Sekarang bersihkan lantai ini dan harus bersih!”
ucap tante tiba-tiba menghukumku.
“Lho tan, kan ada tukang bersih-bersih disini, dan mereka dibayar untuk itu, kenapa harus aku?”
ucapku.
“Membantah? Berani membantah sekarang?”
ucap tante asih.
“ndak tan, Arya ndak berani membantah tante”
ucapku.
“Hi hi hi…”
Bu Dian mengejekku.
“Iya Ar, kamu bersihkan, lagian tante kamu tadi sudah minta ijin ke Pak Dhe, kalau nanti Arya kesini suruh ngepel lantai, gitu”
ucap lelaki yang berada dibelakang tante asih dan bu dian. Pak Dhe Anas, sahabat dari Pak Dhe Andi merupakan kepala rumah sakit ini atau bisa dibilang direktur utama rumah sakit.
“Pak Dhe Anas, memang beneran begitu pak dhe?”
ucapku.
“Iya…!”
bentak tante asih.
“Ya ndak juga, tapi kalau hukuman karena berkelahi diijinkan kok”
ucap pak dhe Anas yang langsung berjalan meninggalkan kami bertiga. Jelaslah Pak Dhe Anas tahu kelakuanku, dia sahabat pakdhe andi sejak kecil dan tahu bagaimana kecilku hingga besarku.
“Argghhh… Hmmmm….”
gerutuku.
“Dah, mulai dibersihkan, Dian, kamu jaga Arya, kalau nanti dia tidak serius membersihkannya kasih tahu mbak, biar seluruh rumah sakit dia yang mengepel, aku akan periksa Felix dulu”
ucap tante yang kemudian meninggalkan kami berdua.
“iya mbak”
ucap Bu Dian. Di hadapanku berdiri seorang wanita yang pernah membuatku terbang tinggi walau akhirnya sayapku patah dan terjatuh dihadapanya.
“selamat siang bu…”
ucapku.
“siang Arya ehem…”
ucapnya dengan senyuman lembut.