Wild Love Episode 60
Kusulut sebatang dunhill
Royal WIn Indonesia Entertainment – Wild Love Episode 60, Entah ada yang aneh dari kata-katanya tapi belum bisa aku temukan dalam kondisi seperti ini. pikiranku masih di selimuti kegelisahan dan kekhawatiran namun aku masih bisa tenang bersamanya. Aku kemudian melangkah menuju halaman belakang rumah bu dian. ku buka pintu belakang rumahnya, terlihat sebuah sedikit tanah lapang berhiaskan rumput jepang dengan kolam ikan yang airnya terus mengalir ke atas karena bantuan pompa. Tepat di samping pintu ada sebuah kursi dan meja. Aku kemudian duduk di lantai bawah, ku ambil sematpon dan dunhill. Kusulut sebatang dunhill… fyuuuuh…. beberapa semburan asap membuatku sedikit tenang malam ini. Sematponku, ingin aku membukannya, membuka rekaman video yang baru saja aku rekam tapi aku urungkan takut jika Bu Dian mengetahuinya.
Rasa sayange… rasa rasa sayange. (buat reader jangan sampe lupa lagu negara kita). Ringtone HP. Ayah.
Aku terkejut melihat nama di layar sematponku. Pikiranku menjadi keruh dan sangat keruh ketika melihat nama itu. Nama yang selalu membuatku marah, nama yang membakar emosiku. Sebentar aku melihatnya dan tak ada ide yang masuk ke dalam otakku. Hingga nada ringtone itu berhenti aku tetap tidak mengangkatnya. Kemudian panggilan kedua dari ayah datang lagi menghampiriku untuk kedua kalinya.
“bagaimana ini? eh… eh… oh iya, pura-pura bangun tidur”
bathinku, aku pun tersenyum.
Hallohh siapah nihh?
Arya, ini Romo, kamu dimana? Sedang apa?!
Hoaaaammmmm… Romo… hoaaammmm… dikos teman romo ughhh… nyam… nyamm…. ada apa romo?
kamu lagi tidur?
tepatnya bangun tidur mo, tadi begadang ndak kuat… ini juga bareng sama temen-temen hoaaaaaaaaammmhh…
Oh ya sudah, romo kira kamu diluar
iya romo, arya mau tidur lagi gih… ngantuk bangethhh hufthh…
Ya sudah, kamu tidur lagi saja
iya hoaaaam romo
Hufth… aman…. aku kembali terduduk dan bersandar pada kursi halaman belakang bu dian, kuselonjorkan kakiku. Pada saat ini aku pandangi langit, dan aku berharap semoga saja telepon barusan membuat romo yakin kalau aku benar-benar tertidur di kos temanku. Langit seakan tersenyum kepadaku saat ini, tersenyum atas keberhasilanku selamat dari kematian. Bintang – bintang melambaikan tangannya menandakan sebuah kebahagiaan atas keberhasilanku.
“Ehem… mas ini tehnya”
ucap bu dian yang diawali dengan berdehem, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya tanpa suara itu.
Bu dia kemudian menyerahkan teh hangat itu dan duduk bersimpuh di sampingku dan menghadap ke arahku. Aku menoleh ke arahnya, memandang wanita tersebut. Wajahnya begitu datar dan kekhawatiran tergambar di wajahnya.
“Oh, iya bu terima kasih”
ucapku, kuraih teh hangat, segera aku sruput minuman hangat dari bu dian. Rasa hangat mulai menguasai dadaku, seakan mengatakan inilah yang aku butuhkan.
“aaahh… mantab bu”
ucapku, dengan senyum ke arahnya.
“Egh…”
aku sedikit terkejut, tiba-tiba bu dian duduk disampingku pandangan matanya mengahadap ke arah yang sama dengan pandangan mataku. Pandangan menatap ke teras belakang rumahnya.
“Bu…”
ucapku mencoba menolak ketika tangan bu dian merangkul lengan kiriku, dan dipeluknya erat. kepalanya bersandar ke bahuku.
“Kenapa? apakah tidak boleh mas?”
ucapnya hening sesaat.
“dulu bocah itu juga melakukan seperti ini dan aku tidak melarangnya…”
lanjutnya dan pelukan bu dian semakin erat, ah aku kalah.
“B… bb… boleh kok bu, iya dulu bocah itu memang memeluk bahu kanan bu dian”
ucapku teringat ketika masa itu aku menunggu bus bersama bu dian.
Kantuk mulai menyapaku
Aku hanya terdiam di sampingnya dengan tangan kananku memegang teh hangat sedangkan tangan kiriku kaku tak bisa bergerak merasakan kehangatan dari wanita di sampingku. Bak seekor banteng yang di ikat kuat pada sebuah pohon besar dan tak bisa bergerak ataupun berlari. Rasa lelah, mulai menjalar lagi di tambah dengan rasa dingin dan kantuk mulai menyapaku. Namun perasaan hangat berjalan dengan riang dari kiri tubuhku, seakan membuat semuanya tertunduk dan menyapa kehadiaran perasaan ini.
“Mas…”
ucapnya pelan.
“Eh… iya bu”
ucapku dan baru tersadar kalau bu dian memanggilku dengan sebutan ‘mas’.
“hati-hati”
ucapnya pelan tanpa menoleh kearahku.
“Iya bu… mmm…. bu”
ucapku.
“iya…”
jawabnya.
“dipanggil arya saja ndak papa kok bu, biasanya juga arya manggilnya”
ucapku sambil meletakan gelas teh hangat itu.
“bocah itu memanggilku dengan sebutan mbak’e-nya aku juga tidak pernah melarangnya”
ucapnya pelan, dan aku semakin terpojok dalam suasana ini.
“bu, kenapa harus bocah itu yang selalu menjadi alasan?”
ucapku.
“hemmmmm… hmmmm”
desahnya melepaskan pelukan dan kemudian duduk memeluk kedua kakinya, dagunya diletakan di salah satu lututnya.
“tanyakan saja pada bocah itu, kenapa aku selalu menyebutnya… dia sudah berjanji kepadaku”
ucap bu dian dengan mata terpejam seakan mengingat kejadian dimasa lampau.