Wild Love Episode 36
Tatapan manis
Selama aku makan, aku melirik Bu Dian yang kadang memandangku dengan tatapan manisnya. aku hanya tersenyum ketika aku kepergok meliriknya. Selesai makan aku kemudian menyulut dunhill dan setiap hisapan kubuang asapnya ke arah kananku agar Bu Dian tidak terkena asap rokok. Karena sudah kebiasaanku setelah makan harus merokok, mungkin memang tidak sopan karena didepanku ada seorang dosen tapi mau bagaimana lagi ini kan kantin seandainya di marahi tinggal matikan saja gampang kan?
“Berhentilah merokok, ndak baik”
ucap Bu Dian.
“Eh… belum bisa bu, sudah kebiasaan sejak SMA, sejak saya dan sahabat-sahabat saya berkumpul menjadi koplak”
ucapku.
“Bagaimana sekarang hubunganmu dengan mbak diah?”
ucap Bu Dian. Lagi-lagi pertanyaan mengenai Ibu. Kumatikan rokokku walau masih setengah batang.
“Eh… baik-baik saja”
ucapku pelan.
“Maaf bu, apakah ini ada kaitannya dengan apa yang akan Bu Dian sampaikan mengenai PKL saya?”
ucapku kembali bertanya ke Bu Dian.
“Benar juga ya kenapa aku jadi tanya mengenai mbak diah, mungkin karena aku sudah kenalan sama mbak diah jadinya ingin tahu saja. Memang tidak ada kaitannya dengan PKL, jadi kamu jangan sensi seperti itu Ar”
ucap Bu Dian sedikit tersenyum.
Otakku hanya ada satu pertanyaan, yang sensi sebenarnya dia atau aku?
“Iya bu. Bagaimana hubungan bu dian dengan pak felix?”
balasku kembali melontarkan pertanyaan seperti sebuah debat mahasiswa berprestasi.
“baik…”
ucapnya sembari membuang pandangannya.
Hening sesaat antara aku dengan bu dian, dulu ketika pertama kali aku keluar dengannya tidak sekaku ini. kulihat pandanganya jauh ke luar kantin, entah apa yang ada didalam pikirannya.
“Ya sudah ar, aku pulang dulu, kamu baik-baik PKL-nya”
ucap Bu Dian sembari bangkit.
“Sudah aku bayar, jadi kamu langsung kembali ke Lab saja”
ucap Bu Dian.
“Lho? Dibayarin bu, wah terima kasih ya bu”
ucapku tersenyum kepadanya dan dibalas dengan senyuman manisnya.
“Ingat janjimu”
ucap Bu Dian.
“Oia, ternyata ada yang bohong sama aku”
lanjut Bu Dian yang berdiri di hadapanku.
“Maksud Ibu?”
tanyaku.
“Katanya banyak yang menunggu senyumku buktinya orang yang aku ajak bicara saja menunduk terus dari tadi”
ucapnya sembari menggantungkan tali tas mungilnya di bahhunya.
“itu anu bu… e… anu itu”
ucapku termakan oleh smsku sendiri.
“sudah ndak usah di jawab, baik-baik PKL disini”
ucapnya yang langsung meninggalkan aku seketika itu juga. Aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri.
Selepas aku dikantin aku kemudian begerak menuju ke laboratorium. Yanto, Encus dan mbak Ela mencandaiku mengenai dosenku yang cantik. Bahkan dua adikku ini menyatakan kekagumannya dengan kepada Bu Dian. Aku hanya menanggapinya dengan biasa saja. Kegiatan di laboratorium berjalan seperti biasa saja, sampel, sampel dan sampel.
Hingga aku harus pulang terlambat satu jam karena adanya sampel yang terlalu berlebihan. Setelah semua sampel telah ter-analisis aku dan QC yang lain akhirnya bisa menikmati udara alam yang segar di luar pabrik. Langsung aku arahkan motorku ke jalan menuju rumah. Sesampainya aku di rumah, Ayah sudah berada di beranda rumah. Aku duduk disebelahnya dan berbincang sebentar.
“Romo, kok baru pulang? Urusan dinasnya padat ya romo?”
ucapku.
“Iya, baru pulang kamu? Memang kuliahnya sampai sore?”
tanya Ayahku.
“Aku kan PKL romo, banyak sampel. Kok romo kelihatannya suntuk sekali, sedang banyak masalah ya romo di kantor?”
tanyaku.
“PKL to, owalah… Iya banyak”
ucap Ayahku.
“Oia Ar, kalau sematpon hilang, bisa ndak ditemukan lagi?”
tanya Ayahku.
“Pasti sematpon KS”
bathinku.
“Wah kalau sematpon hilang, susah romo apalagi kalau sematponnya dari merek terkenal kaya sungsang, durian itu pasti sudah dijual romo. Pengalaman teman kuliahku seperti itu romo”
jawabku.
“Owh ya sudah kalau begitu”
ucap romo kembali menghisap rokoknya.
“Aku masuk dulu Romo”
ucapku.
“Iya sana”
ucap Ayahku.