Wild Love Episode 36
Wild Love (Episode 36)
Royal Win Indonesia Entertainment – Wild Love Episode 36 Sebuah sms aku kirimkan ke nomor Bu Dian tepat pukul 04:00. Aku memang sengaja mengirimkannya lebih awal, dengan tujuan membalas sms dari Bu Dian malam tadi. Tujuan yang lainnya ya sangat jelas karena isi smsku tentang matahari terbit, akan terlihat bodoh jika aku mengirimkannya setelah matahari terbit. Kriiiiik… kriiik…. kriiik… bunyi ringtone sms. Bu Dian.
From : Bu Dian
Apa benar matahari menungguku untuk bangun?
Apa benar semua orang membutuhkan senyumanku?
To : Bu Dian
He he he…
Kalau asumsi saya benar bu
From : Bu Dian
Apakah semua orang itu termasuk yang mengirimkan sms kepadaku?
To : Bu Dian
Semua orang Bu, dan pastinya saya juga menunggu senyum ramah Bu Dian ketika bimbingan
From : Bu Dian
Jadi hanya pada saat bimbingan ya, okey
Terima kasih
To : Bu Dian
Maaf Bu jika Ibu tersinggung dengan sms saya
Kalau menurut saya, setiap ketemu sama semua orang Bu Dian tersenyum
From : Bu Dian
Owh…
Okay and thak you
To : Bu Dian
You are welcome
Haduuuuh… untung saja. Kenapa juga aku harus membalas sms bu dian coba? Bikin masalah baru saja. Aku kembali rebahan di kasur empukku, menatap langit-langit kamarku. Semua sangat indah jika saja cara Ayah dalam mendapatkan Ibu tidak harus dengan cara kotor. Jika saja Ayah adalah orang yang baik dan membahagiakan orang tuanya dan juga keluarganya, mungkin aku tidak akan melangkah sejauh ini. Ibu, tante ima, mbak maya, mbak erlina, arghhh… kenapa aku merasa seperti seorang penjahat.
Tapi dari kesemuanya bukan keinginanku, semuanya keinginan mereka, untuk Ibu, mungkin aku sedikit memaksanya namun seharusnya semua bisa dikendalikan jika saja Ayah tidak acuh terhadap ibu, jika saja Ayah tidak membuat hati Ibu mendendam kepadanya. Akankah semua ini berakhir? Kapan waktu itu datang? Mungkin aku hanya bisa berpaku pada sebuah kalimat ‘JALANIN DULU SAJA’, aku yakin aku bisa mengakhirinya. Dan aku terlelap dalam tidurku sejenak. Tepat pukul 05:00 Aku terbangun dan Segera aku bangkit menuju kamar mandi dilantai bawah. Ketika aku berada di tangga kulihat Ibuku sedang memasak di dapur.
“Lho Ibu kapan datang?”
ucapku.
“Tadi jam setengah lima sayang, kamu baru bangun ya?”
ucap Ibu.
“Iya bu, lha bareng sama dia bu?”
ucapku.
“Ndak, dia paling pulang nanti malam?”
ucap Ibu.
Setelah mendapat jawaban tentang keamanan rumah, Aku berjalan mendekati Ibu dan memeluknya dari belakang. Kucium tengkuk leher jenjang itu.
“Sssshhhh… hmmmm…. ingat hari ini kamu PKL sayang”
ucap Ibu.
“Ibu kalau pergi suka lama-lama, sudah ndak kangen sama Arya bu?”
ucapku.
“Bukannya begitu nak, kalau kamu keseringan kan juga ndak baik”
ucap Ibu.
“Iya… Iya… Oia bu aku mau cerita boleh kan?”
ucapku.
“Cerita apaan?”
ucap Ibu.
Lalu kuceritakan sebuah cerita tentang mbak erlina dan apa yang aku lakukan dengan mbak erlina. Tentang darah dan tentang semua mengenai KS. Ibu yang di awal memasak kemudian bersandar di dadaku sambil memeluk kedua tanganku yang melingkar di perut langsingnya. Dan juga sedikit cerita mengenai mbak maya yang aku temui di kucingan.
“Hmmm… sudah dapat perawan ternyata sekarang, kamu itu jangan suka sembarangan lho nanti kena penyakit”
ucap Ibu meledekku.
“Iya Ibu…”
jawabku sambil memeluknya erat dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Untuk maya, Ibu ndak bisa bilang apa-apa, sebaiknya sebisa mungkin kamu menjauhinya, itu kalau bisa. Untuk erlina kamu jaga dia, tapi ingat jangan memanfaatkan situasi, awas kamu! Kalau kamu memanfaatkannya dan Ibu tahu, ndak ada jatah lagi buat kekasih Ibu ini”
ucap Ibu mengancamku.
“Iya bu, Arya nurut. Mbak maya, ndak tahulah bu. Dia juga tiba-tiba saja datang kesini”
ucapku.
“Yang terpenting kamu jangan suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Jujur saja Ibu tidak bisa menjagamu diluar sana”
ucap Ibu.
“Iya Ibu”
ucapku.
“Ya sudah sana mandi dulu”
ucapnya.
“Iya aaaaaaaaaaw….”
teriakku terkejut karena Ibu meremas dedek arya.
“Ini dijaga, jangan suka main sembarangan”
ucap Ibu. Aku hanya tersenyum cengengesan dan kemudian masuk kekamar mandi.
Mencoba menyeimbangkan emosi
Hari ini aku sangat bahagia karena Ibu berada di rumah. Bukan berarti ada pelampiasan atau apa pun namanya. Yang jelas, keberadaan ibu selalu bisa menyeimbangkan emosiku. Ketika makan pagi bersama Ibu, Ibu menyarankan kepadaku untuk menjaga mbak erlina dengan baik, karena mbak erlina merupakan anak dari KS. Ibu berharap kepadaku agar Ayah dan Om Nico jangan sampai mengetahui tentang keberadaan mbak erlina karena Ibu tidak ingin nasib mbak erlina sama seperti tante wardani ataupun wanita-wanita yang telah menjadi budak mereka berdua. Aku pun mengiyakan apa kata-kata Ibu.
Pagi itu aku berangkat PKL dengan hati sumringah karena keberadaan ibu di rumah. Setelah perjalanan yang cukup menelan waktu menuju tempat PKL, akhirnya aku sampai. Biasalah selalu ada sambutan hangat dari pak satpam dan juga resepsionisnya. Sampailah aku di laboratorium tempat aku ber-PKL. Yanto, Encus dan juga mbak Ela sudah berada disana tampak mereka sedang bersiap-seiap menerima sampel yang akan datang. Kesibukan melanda tim QC laboratorium, bahkan untuk istirahat saja kita harus bergantian karena banyaknya sampel yang datang. Maklumlah hari senin, sampel pasti datangnya banyak sekali yang harus di cek. Hingga giliranku beristirahat, aku dipanggil oleh mbak echa ke ruangannya.
Klek… Aku masuk ke dalam ruangan mbak echa. Deg… Bu Dian?
“Lho Bu Dian?”
ucapku. Bu Dian menoleh kearahku dan tersenyum kepadaku.
“Duduk dulu Ar”
ucap mbak echa, lalu aku duduk disebelah Bu Dian.
“Ini Dosen kamu mau monitoring kerja kamu selama PKL”
ucap mbak echa.
“monitoring? Aneh juga, Padahal menurut kakak tingkatku, jarang sekali mahasiswa PKL di monitoring oleh DPL-nya”
bathinku.
“oh iya mbak”
ucapku. Sambil tersenyum ke arah mbak echa dan Bu Dian.
“Begini Cha, kehadiran saya kesini untuk melihat hasil PKL Arya selama disini. mungkin ada keluhan atau yang lainnya mengenai Arya?”
ucap Bu Dian. Aku hanya bisa tertunduk dihadapan mbak echa dan bu dian. Terlihat mereka berdua saling mengenal satu sama lain.
“Owh… Untuk Arya kami sangat terbantu dengan kehadirannya kok yan. Karena dengan adanya dia beberapa metode analisa kami diperbaiki olehnya, dan banyak juga cewek-cewek yang terpesona dengan dia”
ucap mbak echa.
“Owh gitu ya cha, jadi lebih banyak TP-Tpnya ketimbang PKLnya cha? kalau sudah kelihatan nakal di jewer saja ya cha”
ucap Bu Dian. Aku semakin tertunduk karena keakraban mereka berdua.
“Owh tenang saja yan, dia masih terkendali, apalagi dapat dosen seperti kamu kayaknya lebih bisa dikendalikan”
ucap mbak echa sambil melirikku.
“Hei Ar, kenapa kamu murung begitu? Heran ya aku kenal sama dosen kamu?”
ucap mbak echa, aku hanya mengangguk pelan.
“Aku tuh pernah ketemu dosen kamu sewaktu debat mahasiswa. Dan kamu itu harusnya bersyukur karena mendapatkan dosen pintar seperti Dian”
ucap mbak echa.
“bisa saja kamu, Arya malah ndak suka dapet dosen seperti aku cha, waktu itu malah mau ganti dosen”
ucap Bu Dian menyudutkan aku.
“Itu kan… anu bu… erghhh anu…”
ucapku gugup.
“Yaelah Ar… ar… dikasih dosen pinter, perhatian malah mau ganti, ck ck ck heran aku Ar sama kamu”
ucap mbak echa yang semakin menyudutkan aku.
Mereka kemudian berbincang-bincang mengenai masa-masa dimana mereka berdebat. Kadang juga mengejekku dan menyudutkan aku yang mau berganti dosenlah, yang mau pindah universitaslah, ta seperti itu pokoknya. Percakapan mereka berdua memakan banyak waktu istirahatku dan hanya menyisakan waktu 15 menit untukku beristirahat.
Hingga akhirnya aku mengutarakan niatku untuk beristirahat karena aku belum makan sama sekali dan mereka mengiyakan. Mbak echa kemudian memberikan tambahan waktu 15 menit untukku beristirahat. Aku kemudian mohon undur diri dari mereka berdua dan segera menuju kantin perusahaan ini.
“Kamu kalau makan ndak usah cepat-cepat Ar, aku sudah bilang sama echa untuk memberi kamu kelonggaran waktu lagi karena harus ada yang aku sampaikan kepada kamu mengenai PKL kamu”
ucap Bu Dian tiba-tiba duduk didepanku dengan membawa segelas minuman hangat.
“Eh… terima kasih bu”
ucapku sekenanya. Aku memandangnya sebentar kemudian menunduk sambil menyantap makanku.
“Gimana? Enak PKL disini?”
ucap Bu Dian.
“Enak Bu”
ucapku, masih tetap menunduk dan sedikit memasukan makanan kemulutku.
“Banyak cewek cantiknya ya Ar”
ucap Bu Dian sembari tersenyum kepadaku. Aku dapat melihatnya karena meliriknya.
“Ndak juga bu, enakkan di kampus lebih banyak ceweknya”
ucapku membalas.
“Owh… bener juga ya dikampus banyak ceweknya, jadi bisa ganti-ganti pacar ya?”
ucap Bu Dian mencoba menekanku lebih jauh tentang diriku dengan tenang aku membalas ucapannya.
“Pacar saya Cuma satu bu, Bu Dian kan sudah tahu siapa”
ucapku, masih menunduk di hadapannya.
“Oh iya aku lupa, kamu kan sudah punya mbak diah”
ucap Bu Dian dengan lagak sok lupanya. Aku memandangnya sebentar lalu tersenyum kepadanya.
“Bagaimana kabar mbak diah?”
ucap Bu Dian.
“Baik bu, bagaimana kabar pak felix bu? Sudah keluar dari rumah sakitkah?”
ucapku.
“Eh… baik juga, sudah beberapa waktu yang lalu”
ucapnya dengan tatapan mata seperti orang bingung.
“Ibu ndak makan?”
ucapku sambil sedikit menundukan wajahku.
“Ndak, sudah kenyang Ar”
ucap Bu Dian.
“Owh… kalau begitu saya selesaikan makan saya dulu ya bu”
ucapku.
“Iya…”
ucap Bu Dian.