Wild Love Episode 35
Mencapai klimaks
Aku semakin cepat menggoyang pinggulku. Gesekan dinding vaginanya yang masih sempit itu membuat kulit dedek arya semakin sensitif. Mbak erlina mulai bergerak tidak karuan. Tubuhnya tiba-tiba melengking dan menggelinjang berkali-kali. kurasakan otot-otot vaginanya mencengkram erat dedek arya. Aku diam sejenak, kemudian aku lanjutkan lagi menggoyang tanpa komando dari mbak erlin. Kugoyang pinggulku semakin cepat.
“Mbak, aku mau keluar…”
ucapku.
“Cabut ar… cabuthhh erghhh….”
ucapnya.
Aku kemudian menuruti perkataan mbak erlin, kucabut batang dedek arya dan bergerak sedikit kebelakang. Dengan gerak cepat mbak erlin merubah posisinya berbalik dan langsung melahap batang dedek arya dan mengulumnya. Disedot-sedotnya sangat kuat batang dedek arya.
“Mbak aku keluaaaaaarrrr….”
ucapku.
Crooot Crooooot Crooot Croooot Crooot Crooooooot Crooot
Sperma keluar di mulut mbak erlina, ketika baru beberapa crootan. Mbak erlina melepaskan kulumannya sehingga spermaku muncrat di wajah mbak erlina. Sebuah pemandangan yang memberikan sensasi tersendiri bagiku.
“Banyak banget Ar has has hash…”
ucapnya. Dilapnya spermaku dan dengan ujung kerudungnya lalu dia tersenyum kepadaku.
“mbak, enak banget, yakin mbak…”
ucapku.
“enakkan?”
ucapnya sembari berjalan ke kamar mandi dan kudengar suara gemercik air menandakan dia mandi. Selang beberapa saat dia menyuruhku mandi juga.
Sedikit obrolan
Setelah kami berdua bersih, aku sedikit mengobrol dengan mbak erlin. Aku menanyakan kepadanya mengenai perihal kulumannya yang seakan-akan sudah menjadi kebiasaannya. Jika dia baru pertama kali melakukannya biasanya akan terasa sakit. Dia hanya menjawab, dia sudah sering melakukannya dengan pacarnya yang berada di luar kota Casino de Granny.
Paling tidak setiap satu bulan sekali selama 3 hari pacarnya akan menginap dikosnya dan mbak erlin memberikan servis kuluman kepadanya. Perihal keperawanannya aku disuruhnya untuk tenang, karena dia mengaku pada pacarnya kalau keperawanannya sudah hilang akibat kecelakaan jatuh dari sepeda motor. Konyol memang tapi mau bagaimana lagi, mbak erlin yang dengan suka rela memberikannya kepadaku.
Ku telepon Anton untuk menemuiku di warung wongso dan dia mengiyakannya. Pertemuan di warung wongso pukul 16:00. Segera aku berangkat dengan mbak erlin ke warung wongso tanpa memberitahukan ke wongso. Selama perjalanan sematponku bergetar terus-terusan dengan nada sambung panggilan, namun aku acuhkan. Setibanya aku disana aku melihat wongso sedang menata motor yang parkir di warungnya, dia tampak kaget dengan kehadiran bersama mbak erlina. Bahasa tubuhnya menyuruhku untuk segera pergi dari warungnya, namun aku cuek saja.
“Kaya orang gila saja kamu itu Wong?”
ucapku sambil turun dari motorku bersama mbak erlina.
“Kamu pergi sekarang, ada…”
ucapnya terpotong.
“Hai Ar…”
sapa seorang wanita yang keluar dari warung dan berjalan menuju kearahku. Bu Dian, mengenakan celana pensil hitam dengan kaos lengan panjang longgar berwarna putih.
“Aduuuh…”
ucap wongso sambil kedua tangan berpinggang dan kepalanya menggeleng-geleng.
“Lho Ibu kok disini?”
ucapku.
“Siapa Ar?”
ucap mbak erlin.
“Aku teman baiknya sekaligus Dosen Arya. Kamu sendiri?”
ucap Bu Dian sambil mengulurkan tangannya ke Mbak Erlin.
“Erlina… Temannya juga”
ucap mbak erlina.
Aku kemudian duduk di ujung kursi panjang di depan warung wongso. Bu Dian kemudian duduk di kananku, tiba-tiba mbak erlina mendesakku dan sekarang duduk di kiriku. Wongso hanya duduk di motor pelanggan warungnya. Kuliihat wajah mbak erlina nampak sedikit judes karena Bu Dian yang tiba-tiba duduk di sebelah kananku.
“Kok pada diem?”
ucapku.
“Tahu tuh, apa ndak tahu kalau kamu dateng sama aku, bisa-bisanya duduk langsung disebelahmu, iiih ndak menghargai aku sama sekali, apa dia ndak tahu siapa aku?”
ucap mbak erlina judes.
“Owh aku minta maaf er jika terlalu lancang, maaf ya”
balas Bu Dian lembut.
“iya mbak.. kalau mau duduk disebelah arya ijin aku dulu?”
ucap mbak erlina.
“Eh… maaf”
ucap Bu Dian kemudian membuang muka melihat jalan-jalan yang penuh dengan kendaraan yang berlalu-lalang.
“Mbak erlina, sudah mbak, Bu Dian ini Dosenku dan tolong hormati dia”
ucapku ke mbak erlina. Sejenak kupandangi wajah lembut Bu Dian yang memandang ke arah jalan.
“iiiiiiiiiiiih…”
ucapnya mbak erlina sambil melipat kakinya dengan sikunya bertumpu pada pahanya untuk menyangga dagunya.
“Weleh.. weleh… Ar… ar… betapa beruntungnya kamu diperebutkan dua wanita cantik”
ucap wongso. Aku hanya mengacungkan jari tengahku ke arah wongso.
“Arya, sayang aku pijitin ya kamu kan pastinya capek ya tadi mboncengin aku ya?”
ucap mbak erlina yang kemudian memijit-mijit bahu kiriku.
“Mbak sudah dong”
ucapku sambil mencoba melepaskan pijitan mbak erlina.
“Ndak papa, kan kamu capek, wajar kan teman memijit teman”
ucap mbak erlina menyindir Bu Dian. Bersamaan dengan mbak erlina berbicara, sebuah taksi datang dan keluarlah Pak Wan. Bu Dian kemudian bangkit.
“Maaf sudah mengganggu kalian berdua, aku pulang dulu ya. Wongso aku pulang dulu”
ucap Bu Dian sembari melangkah menuju taksi pak wan.
“Iya Bu, hati-hati”
ucap wongso. Aku merasa tidak enak dengan sikap mbak erlina terhadap Bu Dian, kemudian mengejarnya.
“Pak Antar saya pulang”
ucap Bu Dian.
“Oh ya mbak”
ucap Pak Wan, yang kemudian masuk kedalam taksinya lagi.
“Sebentar pak…”
ucapku sambil mencegah pintu mobil tertutup.
“Bu, tolong maafkan teman saya”
ucapku.
“Ndak papa Ar, santai saja, lagian aku yang salah sudah mengganggu kalian”
ucapnya dengan sambil tersenyum ke arahku.
“Jalan pak”
ucap Bu Dian.
“Duluan mas Arya…”
ucap pak wan dan wush taksi berjalan menjauhiku.
Perempuan memang sulit untuk di mengerti. Kadang dia cuek bebek, kadang pula mereka meminta untuk di perhatikan. Setiap laki-laki pasti lebih sering salahnya ketibang benernya di hadapan seorang perempuan. Kadang bilangnya tidak ingin di perhatikan, tapi setelah di kabulkan eh malah marah-marah. Bilangnya ndak level, barang sudah di jauhi eh malah mendekat. Bikin bingung saja.