Wild Love Episode 28
Bu Dian tampak ling lung
Aku hanya tersenyum melihat kejadian itu, walau sakit yang kurasa harus menghadapi wanita yang dengan segala keindahannya sedang di lamar oleh lelaki lain. Bu Dian tampak sedikit ling-lung dalam menjawab kata-kata dari pak felix. Dia kadang-kadang melihat kearahku yang sedang memegang sematpon pak felix.
“Sudah Ar, ndak usah direkam!”
ucap bu Dian sedikit membentak.
“Ndak papa bu, kan momen indah harus di abadikan, betul gak pak felix?”
ucapku.
“Benar kata Arya, sayang, kamu fokus saja ke aku”
ucap pak felix membenarkan perkataanku.
“Eh… Aku… aku…”
ucap Bu Dian terbata-bata.
“Terima! Terima! Terima! Terima! Terima! Terima!”
teriakku dari belakang kamera sematpon. Tampak Bu Dian kaget dengan teriakanku itu, aku hanya mampu berteriak dengan wajah sumringahku. Dengan satu tangan menggenggam sematpon dan satu tanganku memukul langit.
“Ayo dong Bu diterima, Bu Dian dan Pak Felix sudah cocok lho, sama-sama dosen favorit di kampus. Ayo terima! Terima! Terima!”
teriakku kembali.
Pak felix masih dalam posisi berlututnya dan memandang Bu Dian dengan penuh harap. Dengan tiba-tiba pak felix mengeluarkan sebuah kotak, di keluarkannya sebuah cincin dan di pakaikannya di jari manis Bu Dian. Bu Dian tampak sedikit kaget dengan perlakuan pak felix, nampak dia mencoba menolaknya tapi cincin itu sudah masuk ke jari manisnya.
“Jika kamu menerimaku, pakailah cincin ini selamanya”
ucap Pak Felix.
“HOREEEEEE! CIHAAAA!”
teriakku kegirangan dengan penuh kekecewaan dalam hati.
“Arya sudah hentikan rekamannya! Felix tidak seharusnya kamu melakukan ini dihadapan mahasiswa”
ucap Bu Dian sedikit membentak kemudian menarik tangannya.
“Apapun akan kulakukan demi kamu sayang”
ucap pak felix, aku masih tersenyum.
“Ibu senyum dong, kan ini momen bahagia Bu Dian masa Bu dian cemberut, Ayo Bu Dian senyum biar kelihatan cantiknya”
ucapku, Bu Dian nampak begitu marah dengan ulahku tapi tak bisa diungkapkannya karena ada pak felix dihadapannya.
“Sudah, matikan rekamannya! Aku tidak suka felix!”
ucap Bu Dian sedikit membentak.
“Jangan marah gitu sayang, ntar jadi jelek lho”
ucap pak felix.
“Iya bu ndak usah marah gitu. Pak felix Sudah apa belum?”
ucap ku, dan dijawab dengan anggukan oleh pak felix dan acungan jempol. Aku kemudian mematikan kamera pak felix. Dan melangkah kearah mereka.
“Wah selamat ya pak!”
ucapku kepada pak felix sambil memeluknya..
“Selamat Bu, wah kalau Bu Dian dipeluk bisa-bisa mata kuliah pak felix dapet E nih aku”
ucapku dengan nada bercanda. Aku hanya menyalami Bu Dian dengan wajah dan senyuman ramahku dengan badan sedikit membungkuk. Tampak raut wajah gelisah terlukis di wajahnya.
“Makasih ya Ar..”
ucap Pak felix.
“Yuhuuuuuuuuuuuuuu… akhirnya aku menjadi saksi cinta pak felix dan Bu Dian, nilainya ditambahi ya pak”
ucapku bercanda dengan sedikit berjingkrak di hadapan mereka.
“Tak tambahi 0,1 ya”
ucap pak felix.
“Ya pelit amat pak. 0,05 deh pak”
ucapku bercanda, disambut tawa oleh pak felix.
Kulihat Bu Dian,wajahnya masih penuh dengan kebingungan. Tak ada senyuman yang terlukis di wajahnya dan tak ada sedikitpun gurat wajah kebahagiaan. Pak felix masih memandangku dengan tawa, kulihat tatapan mata Bu Dian ada sedikit penyesalan di dalamnya.
“Selamat ya Bu Dian”
ucapku, dia semakin nampak linglung dengan sikapku.
“Sekali lagi, selamat untuk Bu Dian selaku Dosbing saya dan Pak Felix Selaku Dosen terkeren saya, semoga perjalanan cinta kalian menjadi sebuah sejarah yang tak akan terlupakan oleh Bapak maupun ibu setelah menikah dan mempunyai banyak momongan”
ucapku sambil membungkukan badan ala orang jepang.
“Makasih banyak Ar…”
ucap Pak felix.
“Kalau begitu, Pak… Bu… Saya mohon undur diri dulu, mau kumpul-kumpul sama anak-anak”
ucapku.
“Okay, becareful”
ucap pak felix. Aku kemudian melangkah membelakangi mereka berdua.
“Arya!”
panggil Bu Dian tapi aku tidak menghiraukannya.
“Pak Felix, Bu Dian…”
ucapku dan berhentii sejenak membelakangi mereka.
“Dua menjadi satu selamanya!”
teriakku, dengan mengangkat tanganku membuka dua jari tanganku dan menyatukannya kembali.
Aku kemudian menoleh kebelakang dengan senyuman khasku dan kemudian berlari ke arah pohon tempatku bersembunyi. Dan wongso masih disana. Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi di belakangku
“Kamu memang lelaki kuat Ar, berbeda denganku”
ucap wongso yang ada dihadapanku.
“ayo, mereka sudah menunggu”
ucapku sambil melewati wongso sambil menepuk bahunya.
“Ar, mungkin jika kamu adalah aku, aku mungkin akan memaki mereka berdua”
ucap Wongso.
“It’s okay, to be a little broken, because Everybody’s broken in this life. it’s just life”
ucapku dengan senyuman ke arahnya. Aku dan wongso kemudian kembali ke tempat kami berkumpul. Dengan serentak semua orang yang berada di tempat itu berdiri.
“Kita ke warung wongso saja, cari gratisan”
ucap anton.
“iya, disini banyak nyamuk”
ucap Aris.
“Uangku juga sudah habis, ke wongso saja”
ucap Udin, semuanya akhirnya beranjak dari tempat duduknya ke arah motor kami. Mereka berjalan melewatiku satu persatu dari mereka menepuk bahuku.
“Sudah lah, disini juga ndak apa-apa kan?”
ucapku. Tanpa mendengarkan ucapanku mereka semua naik ke motor mereka dan menyalakannya.
“Cepet Su!(Cepat njing)”
teriak wongso.
Menuju warung wongso
Aku sudah tidak bisa berkutik lagi dan kami akhirnya pergi dari tempat itu menuju warung wongso. Kami berputar melewati taman dan kemudian lurus melewati tempat Bu Dian dan Pak Felix aku berhenti tepat di depan Bu Dian dan Pak Felix dengan jarak kira-kira 5 meter. Semua motor sahabat-sahabatku berhenti di depanku.
“PAK! BU! SELAMAT YA! KALAU NIKAH AKU DIUNDANG LHO!”
teriakku sembari mengangkat tanganku dan menggoyangkannya di udara.
“Doakan ya!”
teriak pak felix. Bu Dian menatapku dengan tatapan kosong ke arahku. Kutarik gas REVIA kembali dan aku melaju melewati sahabat-sahabatku yang kemudian membuntutiku dari belakang.
“Bu Dian… sekarang aku benar-benar sudah mantap dengan keyakinanku, bahwa aku tidak pantas mengharapkanmu apa lagi memilikimu. Kau terlalu indah untuk aku yang kotor ini”
bathinku.
Motorku melaju dengan cepat tanpa mempedulikan mereka yang di belakangku. Lampu merah aku tabrak tanpa mempedulikan tilang polisi. Dan sampailah aku di warung wongso. Warung tersebut sudah tutup dan di buka kembali oleh wongso agar kita semua bisa berkumpul di dalam. Satu-persatu dari mereka masuk ke dalam warung dan aku masih di atas motorku. Para pacar sahabat-sahabatku masuk ke dalam rumah wongso.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”
Teriakku keras.
Beberapa dari sahabat-sahabatku terlihat menengok ke arahku. Lalu aku masuk dan duduk di bangku yang dekat dengan pintu keluar masuk warung. Aku duduk bersandar dengan pandangan ke jalan di luar warung. Mereka semua terdiam seakan-akan ikut merasakan apa yang aku rasakan.
“Arya, Arya tidak apa-apa?”
ucap Dira mencoba memecah kesunyian. Aku menoleh ke arah Dira dengan tatapan tajamku.
“takuuuut hiiiiiiiiiiii”
ucap dira ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh karyo. Tampak sedikit wajah ketakutan di wajah mereka semua.
“Maaf, maaf, ndak papa bro”
ucapku. Semua sahabatku seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku. Mereka tidak berani memulai pembicaraan dengan keadaanku yang masih labil.
“Oh ya, katanya ada yang penting ada apa bro?”
ucapku memecah kesunyian.
“Tidak ada ndes, tenang saja, tenangkan pikiranmu dulu”
ucap Joko.
“Sudahlah, aku tidak apa-apa, ayo segera kita mulai saja. Kadar masalah koyo ngono wae, enteng kanggo aku (hanya masalah seperti itu, ringan buat aku)”
ucapku.
satu persatu dari mereka semua kemudian memukuli kepalaku. Suasana kembali menjadi riuh dengan canda tawa kami. Tiba-tiba anton mengeluarkan sebuah kartu identitas dan di berikannya kepadaku. Ku baca bagian atas kartu identitas itu ‘IN = Intelejen Negara’ aku tercekat mana kala aku melihat nama yang tertera di bawahnya adalah nama lengkap Anton
“Eh… apa maksudnya ini? Kamu anggota IN?”
ucapku.
“Anton akan menjelaskan semua”
jawab wongso.
“Aku anggota dari IN, Aku sedang menyelidiki Ayahmu, makanya aku meminta mereka semua berkumpul”
ucap Anton.
“Eh…”
aku terkejut dengan perkataan anton.
“Halah, jangan sembarangan mana mungkin kamu anggota IN?”
ucapku.
“Ar, kamu tahu kan aku pernah membobol beberapa website pemerintah ketika aku SMP? Ketika itu IN mengetahui aku dibalik dalang semua itu. aku di tangkap oleh IN dan karena aku masih SMP aku dilatih oleh mereka untuk menjadi bagian dari mereka. Kamu tahu sendiri kan sewaktu SMA aku paling jarang masuk ke sekolah karena aku dalam masa pelatihan”
ucap Anton dan aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong.
“Setelah lulus SMA, aku kemudian dipekerjakan di bagian jaringan. Hingga kepala divisiku menyuruhku untuk menyelidiki Mahesa Wicaksono. Mereka tahu jika itu adalah Ayah dari sahabatku sendiri jadi daripada nantinya tindakanku menyakiti hati sahabatku sendiri, aku menemui mereka semua terkecuali kamu untuk meyakinkan mereka mengenai misiku. Sebenarnya aku hanya bawahan dari komandan misi ini, tapi aku diperbolehkan oleh komandanku untuk mengikutsertakan kalian tapi bukan sebagai prajurit tetapi pengumpul informasi karena dalam misi ini, Nyawa adalah taruhannya. Dan hari ini adalah hari dimana aku berterus terang kepadamu agar jika kelak nanti aku menangkap Ayahmu. Kamu tidak dendam kepadaku. Aku ingin kamu berkerjasama denganku”
ucap Anto.
Kupandangi wajahnya dengan tatapan mata seriusnya, aku semakin yakin bahwa dia tidak berbohong kepadaku dan kemudian aku tersenyum, membuat beberapa sahabatku termasuk anton terkejut kecuali wongso. Aku terdiam sejenak berpikir, jujur saja aku tidak bisa bergerak sendirian aku butuh teman untuk bergerak.
“Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi…”
ucapku.
“Maafkan aku Ar, tapi ini sudah menjadi misiku untuk menyeleidikinya. Dan aku harap…”
ucap Anton. Kusulut sebatang dunhill dan kuhempaskan asapnya ke alngit-langit warung wongso.
“Aku sudah tahu kebusukan Ayahku, Dia telah membuat hidup banyak orang sengsara. Jika semuanya aku ceritakan disini walau 1 juta halaman tidak akan cukup. Aku tahu ini misi Anton tetapi secara pribadi, ini adalah keinginanku untuk mengakhiri kiprahnya. Aku tidak peduli dengan IN atau apalah yang ingin menangkapnya, yang jelas harus aku orang pertama yang menyingkirkannya. dan sebenarnya aku tidak ingin kalian tahu dan aku tidak ingin kalian ikut di dalamnya. Jika aku mati aku akan mati sendiri”
ucapku sembari memandang mereka satu persatu.
“Aku tidak mau…”
ucap Aris.
“Tidak mau kalau kamu bergerak sendiri, aku harus ikut”
lanjut aris.
“aku harus ada disitu, cat kadang kalau mau berkelahi ndak ngajak-ngajak, kan enak tuh kalau tawuran bareng-bareng mengenang masa SMA”
ucap Karyo.
“Iyo… dia suka ninggal aku”
ucap Udin yang mengangguk ke arahku.
“Kalau ikut semua aku juga ikut, aku kan paling cantiiiiiiiik”
ucap Dira.
“Aku juga, kasihan kalian nanti tidak ada makanan gratis”
ucap Wongso.
“yang penting ojo kondo-kondo”
ucap joko.
“Lumayan ada pekerjaan, aku ikut”
ucap Parjo.
“Pamer Gigi ah…. ikut”
ucap tugiyo.
“Dewo terdepan…”
ucap Dewo. Aku tersenyum melihat mereka semua. Entah aku bahagia atau tidak tapi mereka semua menatapku dengan tatapan keseriusan.
“Bagaimana kalau nyawa kalian terancam?”
ucapku.
“Geng koplak itu jalan dulu, yang lain dipikir belakangan”
ucap mereka serentak. Mereka mengulurkan tangan mereka dan menumpuknya menjadi satu dihadapanku. Aku hanya tersenyum dan menaruh tanganku diatas mereka.
“KOPLAK!”
teriak kami bersama sambil mengangkat dan menjatuhkan tangan kami semua secara bersamaan.