Wild Love Episode 27
Terjadi sebuah kesalahan
Tossss…. suara tos dari kedua tangan kami. ya mungkin adalah sebuah kesalahan ketika aku mundur dan Rahman maju untuk mendapatkan Ajeng. Itu semua terjadi karena ketidak terbukaanya aku terhadap Rahman juga sebaliknya. Memang dalam persahabatan selalu ada masalah, tapi semua bisa di atasi jika saja selalu ada keterbukaan antar keduanya.
Mungkin ini adalah pembelajaran bagiku dan Rahman. Akhirnya kami berpisah dan aku menuju jalan pulang ke rumahku. Sebelum berpisah rahman mengatakan kepadaku bahwa dia memiliki sebuah masalah yang besar, namun dia enggan untuk menceritakannya kepadaku untuk sementara ini. Akhirnya aku sampai di rumah dengan perasaan yang sangat lelah. Ibu menyambutku ramah, dan senyuman inilah yang sampai sekarang memiliki bius di hatiku.
“Capek sayang?”
ucap Ibu, aku hanya mengangguk.
“Istirahat dulu saja ya, dan kamu harus cerita kepada Ibu, tuh dikepala kamu banyak tulisan-tulisan yang belum diterjemahkan”
ucap Ibu.
“Ah Ibu bisa saja, Arya Istirahat dulu ya Bu”
ucapku kemudian melangkah naik ke kamarku.
Ingin sekali aku bercerita kepada Ibu, karena hanya dia yang dapat menjadi tempat curhatku selama ini. Namun dengan keberadaan Ayah yang ada di rumah membuatku tak bisa berlama-lama dengan Ibu. Dengan segala kegelisahan dalam pikiranku, Aku merebahkan tubuhku di kasur empukku, kubuka sematponku ada notifikasi BBM yang belum aku buka. Bu Dian. Dan kubalas secukupnya saja.
From : Bu Dian
Kamu jangan dengarkan Omongan Bu Erna ya
To : Bu Dian
Iya
Tak ada balasan dari sms bu Dian hanya saja ada status Bu Dian berubah.
I hope you sure of what you feel
Dan ku balas
I Believe in you
Bu Dian, sebenarnya bagaimana perasaanmu kepadaku? Apa arti kecupan tempo hari itu? Kau buat aku terbang tinggi sekarang? Akankah kau terbang bersamaku atau malah menjatuhkan aku? Beberapa pertanyaan bergelayut di dalam pikiranku hingga mata ini terpejam dengan sendirinya. Aku kemudian terbangun karena suara teriakan Ayah yang memaki-maki orang yang berada di dalam sematponnya. Aku langsung bangkit dan membuka sedikit pintu kamarku , mencoba mendengarkan percakapan Ayah.
“Tidak, bisa! Kita harus segera menemukan orang itu! Dia sudah mengambil banyak!”
Bentak Ayah kepada seseorang yang berada di telepon cerdasnya sambil berjalan ke arah pekarangan rumah.
Mengahlikan pandangan
Dalam hatiku aku berharap tidak ada keterangan mengenai si pengambil uang tabungannya. Kualihkan pandanganku ke bawah, kulihat Ibu yang berada di depan TV kemudian menatap kearah pintu kamarku, dia tersenyum dan kemudian bangkit menuju ke kamarku, masuk dan menutup pintu.
“Sssst… biarkan dia teriak-teriak paling sebentar lagi dia tidur”
ucap Ibuku dalam posisi kedua tangannya berada di bahuku.
“Beneran Bu..”
ucapku yang kemudian dibalasnya dengan anggukan manja. Ku majukan bibirku tapi Ibu menghindarinya.
“Cerita dulu…”
ucap Ibuku, kemudian aku dan Ibu duduk di pinggiran ranjang, dan Ibu duduk didepanku smabil kupeluk.
Ini adalah momen terindah yang aku inginkan, bisa memeluknya dan menceritakan keluh kesahku. Kuceritakan semua yang terjadi di hari ini dari bimbingan dengan Bu Dian, perkataan Bu Erna dan percakapan dengan Rahman. Dengan manjanya Ibu menyandarkan tubuhnya di tubuhku sambil mendengarkan ceritaku.
“Sudah tenang saja sayangku, everythings gonna be okay”
ucap Ibuku dengan senyumannya. Senyumannya membuat aku menjadi lebih tenang.
“Nimas!”
teriak Ayah dari lantai bawah.
“Iya, sebentar…”
teriak Ibu dari dalam kamarku, Ibu kemudian keluar menemui Ayah. Sebelum Ibu keluar dengan bahasa tubuhnya dia melarangku untuk keluar dari kamar. Aku tidak tahu menahu apa yang dilakukan Ibu dibawah sana, sedikit aku intip dari pintu kamarku. Ibu hanya melakukan kegiatan Ibu Rumah Tangga biasa saja.
Malam semakin larut, Ayah kemudian berada di teras depan rumah, merokok dan menelepon temannya. Mungkin itu adalah telepon penting dari temannya aku tidak tahu. Ibu menarikku untuk duduk bersamaya di depan TV.
“Itulah Romomu… Dia tidak ingin Ibu terlalu dekat denganmu, karena waktu itu sewaktu kamu pergi dan tak ada kabar. Dia itu keceplosan kalau dia tidak ingin masa lalunya terungkap, ya ketika memperkosa Ibu itu. Karena sejujurnya Dia itu takut kepadamu, sejak kejadian malam itu, ketika kamu menolong Ibu dari teman Romomu. Padahal kamu sudah tahu semuanya”
jelas Ibu, walau dalam situasi apapun Ibu selalu mencoba untuk tenang.
“Dia tahu tidak bu mengenai gerakanku?”
tanyaku.
“Tidak, sama sekali tidak, dia hanya kebingungan mengenai telepon KS dan uang dalam bank-nya hilang begitu saja. Dia sudah menghubungi pihak bank untuk menemukan pelaku, tapi yang didapat dari kamera CCTV tidak jelas, katanya orang itu tinggi dan kulitnya hitam, rambutnya gondrong”
jelas Ibuku.
“fyuuuuuuuuuuuuhh… syukurlah kalau begitu”
ucapku, Ibuku hanya menatapku dengan senyuman. Dikecupnya bibir ku sebentar.
“Maafin Ibu ya, belum bisa sabar ya sayang paling sebentar lagi dia pergi”
ucap Ibu sambil meletakan kepalanya di bahu kananku. Kurangkul bahu kanan Ibu dengan kedua tanganku dan kudekap lembut. Dalam diam kami berpelukan, hingga suara pintu terbuka membuat kami berpisah. Aku kembali ke dalam kamarku.
Kunyalakan komputer kamarku dan ku kerjakan proposal Tugas Akhirku. Sambil mengerjakan proposal TA, aku juga membuka email Om Nico tapi tak ada pesan masuk ke dalam emailnya. Tak lupa aku mengirim BBM ke Bu Dian sekedar menanyakan kabar dan mencoba untuk memberikan perhatian kepadanya. Aku masih berharap untuk bisa jalan dengannya. Jam berdetak menunjukan waktu semakin malam hingga akhirnya aku menyudahi membuat proposal, mencoba menyambut esok pagi.
Pagi kembali beraksi di hadapanku, kini kuliah di mulai jam setengah sembilan pagi. Aku berangkat dengan sedikit berat hati karena hari ini Ayahku juga berangkat bersamaan denganku, sehingga tak ada kecupan di bibirku. Ku percepat laju motorku hingga kampus agar lepas penat ini. Ku temui beberapa temanku dan juga Rahman yang sudah berada di dalam kelas. Pandangan matanya tampak sedikit kosong dan pikiranku selalu kembali ke Ajeng, mungkin Rahman ingin kembali ke Ajeng, hanya itu yang selalu dalam pikiranku.
“Kang, ada apa to?”
ucapku.
“Ah… bikin kaget saja ente itu”
ucap Rahman.
“Lha kamu kaya orang hilang ingatan gitu kok”
ucapku.
“Arghhh… bingung ane mau cerita sama ente, kapan-kapanlah, kalau ane sudah siap ane akan cerita ma ente”
ucap Rahman.
Balas serentak dari kami
Tiba-tiba seorang Dosen Pria masuk ke dalam kelasku, ucapan salam di balas serentak oleh kami semua. Pria bertubuh yang tingginya sama denganku, dan kulitnya lebih putih dari kulitku ya karena mungkin aku terlalu banyak kepanasan jadi kulitku tambah sedikit gelap. Semua mahasiswi dalam kelasku terpukau bahkan ada beberapa dari mereka yang memandangnya seperti memandang Artis Korea.
“Perkenalkan nama saya Felix, saya Dosen lama di kampus kalian, hanya saja selama tiga tahun ini saya melanjutkan S3 di luar negeri, jadi tidak pernah bertemu kalian”
ucap Dosen tersebut, Felix namanya.
“Ada yang mau ditanyakan?”
ucap pak felix, sambil tersenyum dan menyapu ruang kelas.
“Pak Felix? Sudah punya pacar?”
tanya mahasiswi temanku.
“Hmmm… bagaimana ya? Bisa punya bisa belum”
jawab pak felix.
“Belum saja pak, kita mau lho jadi pacar bapak”
jawab seorang mahasiswi lainnya, kemudian gelak tawa dari kami semua meramaikan suasana kelas.
“GAK LEPEL KALI AMA KAMU!”
Teriak teman mahasiswaku.
“KAMU KALI YANG GAK LEPEL SAMA KITA!”
teriak seorang mahasiswi lainya, diikuti gelak tawa para mahasiswi.
“Sudah… sudah… kita lanjutkan tanya jawabnya ya, jangan yang terlalu personal”
tenang pak felix.
Perkenalan itu berlangsung cukup lama karena para mahasiswi selalu bertanya-tanya mengenai hal-hal yang tidak penting untuk dijawab. Dan para mahasiswa di kelasku selalu menimpalinya dengan hal-hal konyol. Aku sendiri tidak tertarik, lebih cenderung diam di dalam kelas mengamati setiap tingkah laku dari teman-temanku. Perkuliahan selesai tanpa adanya mata kuliah yang di ajarkan dari pak Felix itu. Seperti biasa aku ajak Rahman untuk nongkrong di warung, tapi kali ini dia menolaknya. Aku mulai curiga kalau dia mengetahui sesuatu tentang aku, Ibunya, ataupun Ayahnya.
Geng Kolak pulang
Sebulan bulan awal Semester enam ini kehidupanku berjalan sangat monton, tak ada yang spesial di dalamnya. Aku hanya menanti Dua orang sahabatku dari Geng Koplak pulang dari kesibukannya, ya selain mereka bersembilan sewaktu berada di cafe, masih ada 3 orang lagi yang di sebutkan oleh Karyo masih membantu mama-mamanya.
Udin alias Unik Dan Intelektual Ndase (Kepalanya), Si Andri Alias Anak mandiri dan yang terakhir adalah Hermawan alias Hebat Rupawan Manis dan menaWan. Dua yang terakhir sering sekali keluar kota untuk membantu Ibunya membeli dagangan yang akan di jual, karena di luar kota harganya lebih murah. Dan biasanya mereka akan sedikit longgar di bulan ke 5 dan ke 6. Pertemuan ini adalah yang pertama kalinya sejak kami semua lulus kuliah, kadang aku bertemu dengan mereka tapi hanya beberapa.
Rumah yang seharusnya menjadi sebuah tempat di mana seorang anak berkumpul dan berbagi kebahagiaan tidak aku rasakan sama sekali. Ayah masih sibuk dengan pekerjaanya, entah pekerjaan seperti apa yang di lakukannya, ingin sekali aku mengakhiri karirnya namun untuk saat ini sangat tidak mungkin. Ibu menjaga jarak denganku karena Ayah berada d irumah. Aku bersikap sangat patuh kepada Ayah dan juga Ibu.
Good write-up. I definitely appreciate this website. Continue the good work!