Wild Love Episode 17
Air Mata Mengucur Deras
Mataku mendelik kutolehkan ke arah kanan dan kiriku kulihat mata mereka berdua terpejam dengan senyuman indah di bibir mereka. Air mata ini mengucur deras, bibirku yang semula tersungging ke atas karena bertemu mereka sekarang menjadi sebuah kubah.
“KAKEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEK”
“NENEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEK”
Senyuman mereka ketika bertemu tidak akan pernah aku lupakan, kupeluk tubuh mereka erat hingga aku tidak ingin melepaskannya.
Baru pertama kali ini bertemu, baru pertama kali ini melihat mereka, baru pertama kali ini bercengkrama dengan mereka tapi kenapa ya mereka telah menghembuskan nafas terakhirnya, aku masih memeluknya dan memeluknya. Mendapati takdir yang di alami mereka sangat pahit, sangat pahit dan sangat pahit. Tubuh mereka kini aku rebahkan berdampingan dalam pelukanku yang terduduk di belakang tubuh kakek dan nenek, tubuh sepasang manusia yang selalu bersama sehidup-semati.
Kudaratkan pelukan dan ciuman di kening mereka dan pipi mereka secara bergantian. Tetes air mata ini tak tertahankan membuatnya seperti air terjun yang tak pernah kering. Warga semua berdatangan, melihat seorang lelaki dan perempuan yang dulu mengayomi, menghidupi mereka kini telah terbaring kaku. Setiap warga bergantian memeluk dan mencium tangan kanan kakek dan nenek. Aku seperti orang gila yang tak ingin melepas tubuh mereka dari dekapanku andai saja warga tidak menyadarkan aku mungkin aku akan menjadi patung yang terus memeluk tubuh kakek dan nenekku.
Pada hari itu juga warga dari desa banyu abang juga berdatangan semua warga, tidak tua tidak muda semua berdatangan. Di bantu dengan warga aku menguburkan kakek dan nenek dari Ayahku ini. tampak Pak roto dan keluarganya beserta penduduk desa juga hadir. Tangis menderu, air mata berjatuhan layaknya hujan dari langit.
Balas Dendam
Doa telah di panjatkan dan warga mulai berdiri meninggalkan makam untuk melanjutkan aktifitas kembali dengan rasa haru dan sedih dalam hati mereka. Di antara makam mereka yang berdampingan, aku yang berlutut kemudian bangkit dan memandang langit biru yang mulai tercoret oleh kegelapan. Seakan-akan langit tahu kesedihanku, butiran air turun dari langit mencoba menghapus air mataku.
“HEI MAHESA WICAKSONO, KAMU HARUS MEMBAYAR INI SEMUA!”
Teriakku lantang, semua orang yang berada disitu memandangku. Dalam rintik hujan itu warga mulai meninggalkan makam, aku masih berdiri disitu menikmati hujan yang meghilangkan tangisku.
“Sudahlah den, cita-cita mereka sudah terwujud yaitu bertemu dengan den arya”
Ucap nenek surti sembari memayungiku, aku terhanyut dan memeluknya sambil menangis.
Di tenangkannya diriku dengan elusan lembut di punggungku. Di temaninya aku pulang dan diceritakannya kepadaku berbagai penderitaan kakek dan nenek karena Ayah, ya kakek dan nenek menderita bahkan di hari tuanya mereka memilih tinggal di gubuk tua walau banyak warga yang menawari untuk merawat mereka.
Pada hari kedua kepergianku, aku tinggal di desa bayu biru untuk melakukan doa selama 7 hari atas kepergian kakek wicaksono dan nenek mahesawati. Banyak cerita indah mengenai kakek dan nenekku, warga secara bergantian menceritakan bagaimana kehidupan kakek dan nenek selama masih menjadi orang terpandang.
Meninggalkan Tempat Ini
Mereka bahkan tak mengenal waktu ketika menceritakan apa yang mereka dapatkan dari kakek dan nenek. Cerita-cerita mereka membuat aku tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala bagaimana kakek sehebat itu memiliki anak seperti Ayah. 7 hari berlalu, hingga akhirnya aku harus meninggalkan tempat ini.
Aku kemudian berpamitan kepada seluruh warga di desa banyu biru dan berterima kasih kepada mereka kutinggalkan uang sebesar 30 juta kepada kepala desa mereka. Nenek Surti mengantar kepergianku hingga di mulut jalan setapak. Dia juga menambahi sedikit cerita bagaimana perlakuan Ayah terhadap warga sekitar.
Warga sebenarnya berani melawan hanya saja karena menghormati Kakek mereka mengurungkan niat mereka. Aku berpisah dengan nenek surti, aku kemudian melewati jalan berangkatku dengan penuh rasa sakit di hatiku. Memang aneh dimana-mana perjalan pulang selalu lebih cepat dari perjalanan berangkat. Aku telah sampai di desa banyu abang langsung aku menuju ke rumah pak roto dengan membawa kesedihan dalam hatiku walaupun begitu aku harus tetap move-on. Aku tiba di rumah pak roto mereka menyambutku dengan senyuman.