Wild Love Episode 33
Wild Love (Episode 33)
Royal Win Indonesia Entertainment – Wild Love Episode 33 Setelah semua perkenalan dengan QC laboratorium aku segera pulang, pamit kepada resepsionis dan juga bapak satpam yang mengarahkan aku sebelumnya. Aku segera berputar-putar daerahku menghabiskan waktuku hingga sore hari tapi sebelumnya aku sudah minta ijin dulu sama Ibu dan Ayahku.
Walau tanggapan Ayahku biasa saja, yang terpenting adalah ijin dari Ibuku. Matahari tampak mengantuk dan ingin rasanya dia tidur selepas menemaniku sehari ini. aku arahkan REVIA menuju jalan pulang dan sekalian mampir ke kucingan (Nasi kucing) tempat biasa aku nongkrong. Sesampainya aku berada di kucingan.
“Mas Agus, kopi wait ya mas”
ucapku kepada penjual nasi kucing langgananku mas Agustus.
Aku kemudian duduk di tikar yang berada di sebelah warung nasi kucingnya tidak jauh dari REVIA.
“Weh… kamu ar”
ucapnya.
“Yoi mas”
ucapku sambil mengeluarkan sematpon milikku.
“Dek, mas Arya dibuatkan kopi wait ya ndak usah pakai gula, terus gelasnya kecil saja”
ucap mas agus yang aku dengar ketika aku sibuk dengan game di sematponku. Sebentar aku menunggu.
“Mas, ini kopinya”
ucap seorang wanita yang berada di sebelahku” ucapnya, nampak familiar suaranya. Aku kemudian menoleh ke arah wanita tersebut.
“Iya mbak ter… mbak maya?!”
ucapku kaget.
“Sssst… pakai susu ndak?”
ucap mbak maya.
“Hadeeeeeeeh….”
ucapku sambil tepuk jidat.
“Kang mas, ini lho mas arya yang kemarin aku ceritain sampai di rumah bapak”
ucap mbak maya kepada mas agus.
“Oalah kamu to ar, pantesan dari cerita istriku itu aku kok sedikit mengenal ciri-cirinya ternyata kamu, ya sudah di temani dulu dek”
ucap mas agus yang tampak sibuk meladeni pelanggan.
Mbak maya kemudian duduk bersimpuh di depanku, kami kemudian mengobrol. Ada pertanyaan besar dari lubuk hatiku mengenai perutnya yang besar.
“Ndak nyangka ternyata mbak itu istrinya mas agus hadeeeeeh. Mbak, itu kok besar?”
bisikku.
“kan mas yang buat”
bisik mbak maya.
“HAH! Beneran mbak?”
bisikku kaget.
“ndak mas… tenang saja, kemarin bukan masa suburku”
ucapnya.
“Lha terus?”
ucapku.
“Bapak”
ucapnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Fyuuuuh… kok bisa kejadian lagi”
ucapku.
“Ya jelaslah, bapak itu ternyata mengintip, ya mbak ndak bisa nolak apalagi mas meninggalkan kenangan indah buat mbak yang membuat mbak selalu merasa kepengen terus”
ucap mbak maya.
“Lha mas Agus tahu?”
tanyaku memburu.
“Ya ndak to ya, beberapa hari setelah mas arya mbak kedatangan tamu bulanan, terus bapak minta tapi mbak nolak dulu nunggu mas agus pulang, setelah mas agus pulang baru dech sama bapak, eh malah jadi”
ucapnya santai.
“Mas Agus malah seneng kok, jadi ya mbak santai saja”
ucapnya membuatku bertepuk jidat lagi.
“Eh, mas kapan-kapan mampir ke kontrakan mas agus, kangen sama itu tuh”
ucapnya sambil melirik selangkanganku.
“Ah, mbak ndak enak, kalau ketahuan bisa jadi lauk dagangan mas agus”
ucapku.
“Eits kalau mas mau mampir, mbak atur dech dijamin ndak bakalan ketahuan”
ucapnya membuatku sedikit ON FIRE! Tapi segerea pikiran itu aku buang.
“Ya kapan-kapan dech mbak kalau ingat. dagangan mbak maya? kok ditinggal?”
ucapku.
“Ibu yang ngurusi, kan lagi hamil, aku kesini ya kangen saja sama suamiku, kalau dirumah ndak ada yang melayaniku, bapak nyawah (ke sawah) Ibu dagang”
jelasnya.
Setelah itu kami mengobrol agak lama dan mas Agus nampak senang karena istrinya mempunyai teman ngobrol. Ketika suasana warung sedikit sepi, mas as ikut nimbrung bersama kami. menurut penuturannya, mas Agus juga tahu mengenai Kakek dan Nenekku dari Ayah. Mas Agus berdagang di dekat rumahku untuk memberikan informasi-informasi kepada Pak Wan tentang keseharianku. Akhirnya aku semakin merasa nyaman tentang keberadaan mereka di sekitarku, mungkin saja suatu saat nanti aku akan membutuhkan bantuan mereka.
Kami bertiga mengobrol ngalor ngidul selama suasana warung sedikit lenggang, walaupun ramai mas agus tetap santai karena masih ada karyawannya yang membantu. Aku benar-benar salut dengan mas Agus, walau berdagang nasi kucing tapi sudah punya karyawan sendiri. Kadang dalam hati ada rasa bersalah juga, tapi mau bagaimana lagi aku juga tahu jeleknya mas agus yang suka kesana kemari jalan bareng cewek. Padahal kalau dilihat dari sudut pandang depan belakang samping, mbak maya sudah mumpuni tapi mungkin karena mas agus berada jauh dari istri ya. Setelah mengorbol, aku menyudahi nongkrongku di kucingan mas agus.
“Ya sudah mbak, mas, aku pamit dulu”
ucapku kepada mbak maya.
“Oia Ar, kapan-kapan nongkrong lagi sama geng kamu itu”
ucap mas Agus.
“Iya mas”
ucapku. Kemudian mas agus kembali ke kesibukannya, aku ditemani mbak maya sampai ke tempat parkir REVIA.
“Ssst mas, dedeknya pengen disiram, kapan-kapan mampir ya”
ucap mbak maya.
“Hadeeeeh mbak… mbak, masih sempet mikir kaya gitu”
ucapku.
“Ya sempetlah, apa lagi gede banget tuh, yang terpenting itu kuatnya sich bukan gedenya”
ucap mbak maya,yang aku jawab dengan tepuk jidat.
Dunia yang sempit
Tak lama setelah itu aku pulang dengan kepala menggeleng-geleng. Dunia memang selebar daun kelor, baru saja aku pergi jauh eh… sudah ketemu lagi yang aku temui di daerah sebrang sana, di dekat rumahku lagi. Laju motor tidak begitu cepat dan kini aku sudah berada di rumah. Ibu membukakan pintu dengan wajah ngantuknya, Cuma jeweran kecil pada telingaku. Ayah sedang nonton TV, eh bukan tapi ditonton TV. Ibu kemudian melanjutkan tidurnya dan aku masuk ke kamarku.
Hari berlalu dengan cepat karen tidak ada pekerjaan atau kegiatan yang dapat aku lakukan kecuali main ke tempat wongso serta ketemu beberapa sahabat geng koplak. Bercanda dan bergurau, untuk melupakan sejenak kegelisahan hatiku mengenai Ayahku yang tidak ada kemajuan informasi sampai saat ini. Wongso pun sering bertemu dengan pak wan, tapi dari penuturan pak wan pun juga tidak ada informasi tambahan kecuali sering melihat Ayah dan Om Nico pergi ke perumahan SAE. Paling main sama tante war.
“Anton juga tidak informasi wong”
ucapku.
“Iya, sama saja, semua kelihatan berjalan datar”
ucap wongso.
“Kalau kata Anton, kita hanya bisa menunggu Ar”
ucap Aris.
Ya seperti itulah hari-hariku, yang penuh dengan ke-monotonan. Bu Dian? Aku sebenarnya tidak mau membahasnya. Beberapa kali aku melakukan komunikasi dengannya tapi hanya sebatas tanya jawab mengenai TA, PKL dan mbak Diah (pacarku). Itu terjadi ketika malam senin, sehari sebelum aku PKL, aku mendapat telepon dari Bu Dian.
“Halo, selamat malam bu”
“Selamat malam juga Ar, bagaimana kabarmu?”
“Baik, Ibu bagaimana?”
“Baik, juga”
“Ada apa ya Bu?”
“Tidak ada, Cuma mau mengingatkan saja besok PKL, kamu PKL-nya yang seirus ya, supaya nilai kamu bagus”
“Iya bu, pasti saya usahakan dan terima kasih untuk motivasinya Bu”
“Sama-sama, sekarang kamu istirahat ya agar besok kamu bisa lebih fit lagi”
“Iya bu, terima kasih, Ibu juga ya”
“Iya, met bobo”
“eh… met istirahat bu”
“Bobo? Memangnya aku pacarnya apa? Met bobo, iiih… kaya anak kecil saja. Tapi seneng juga ya he he he.”
bathinku.
Sebelum aku tidur, seperti biasa, kelabilanku sebagai kawula muda muncul yaitu membuka status BBM dan melihat DP teman-temanku. Dan yang paling menyita perhatianku adalah Bu Dian.
“REMEMBER WHAT YOU PROMISE”
Huft… lagi-lagi masalah ketemuan ini pastinya. Bodoh ah! Aku kemudian tidak menjadi labil, aku tarik selimutku dan segera aku terlelap dalam tidurku. Centung… suara BBM masuk.
From : Bu Dian
Promise me?
To : Bu Dian
Yes, I Promise
From : Bu Dian
Thank You
Segera aku terlelap.